O9

1.2K 201 1
                                    

"Dari awal lo emang berencana buat bunuh gue, Chan?" Renjun berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan taman kecil tempat Haechan dan Yuta berdiri. Ia menatap Yuta dan Haechan bergantian dengan tatapan yang sulit diartikan. Dibanding merasa takut melihat dua pembunuh bayaran di hadapannya, ia lebih merasa kecewa mengetahui orang yang ia percaya justru memiliki niat buruk terhadap dirinya.

Mata Yuta membulat ketika melihat sosok Huang Renjun ber di ambang pintu. Kok bisa Huang Renjun aja di sini? Apa ini rencana Haechan biar misinya berjalan lancar? Kalau gitu berarti tanpa sengaja gue udah hancurin rencananya dong, tapi bukannya Haechan baru aja sembuh? Situasi apaan sih ini?! Ada segudang pertanyaan dalam benak Yuta, tetapi ia memilih untuk diam karena menurutnya saat ini bukanlah saat yang tepat untuk itu.

"Jun, Bang Yut, dengerin gue dulu ya, please. Panjang banget ceritanya, jadi kita obrolin di ruang tengah aja yuk?" Haechan berusaha mencairkan suasana tegang yang menyelimuti mereka bertiga, mengajak Renjun dan Yuta untuk bicara.

ᴖ◡ᴖ · ᴖ◡ᴖ · ᴖ◡ᴖ

Haechan berjalan ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh lalu meletakannya di atas meja, mempersilahkan Renjun dan Yuta untuk meminumnya terlebih dahulu agar suasana menjadi lebih rileks.

"Jadi kalian berdua pembunuh bayaran dan ditugasin buat bunuh gue?" Renjun langsung membuka percakapan setelah ia selesai menyesap tehnya.

Haechan mengangguk lemah, "ada dua pembunuh di depan mata lo. Lo gak takut, Jun?" tanya Haechan menatap manik mata Renjun.

"Gak, Chan," jawab Renjun lugas seraya menggeleng, "dibanding rasa takut, gue lebih ngerasa kecewa saat tau lo- orang yang gue percaya- ternyata punya niat buruk sama gue."

"Jun, awalnya emang gue ditugasin untuk bunuh lo, tap-"

"Siapa yang nyuruh lo?" sela Renjun. Ia hanya tak menyangka akan ada orang yang membencinya sampai-sampai berniat untuk merenggut nyawanya seperti ini.

"Jun, tenang dulu ya. Biar gue jelasin dulu dari awal," ucap Haechan berusaha menenangkan Renjun, "awalnya gue emang ditugasin untuk bunuh lo, tapi setelah lo nolongin gue saat gue jadi korban tabrak lari- demi Tuhan, rasanya gue malu banget. Saat itu juga gue mutusin untuk berhenti, Jun."

Yuta yang tak tahan lagi menyimpan semua pertanyaannya sendiri akhirnya ikut buka suara, "jadi waktu lo bilang dirawat di rumah temen tuh maksudnya Renjun? Dia yang ngerawat lo?" tanya Yuta yang langsung dijawab oleh anggukan Haechan.

"Waktu itu sebenernya gue lagi ngintai Renjun. Pas gue mau nyebrang malah ketabrak dan besok paginya pas gue bangun ternyata gue ada di apartment Renjun, dia yang nolongin gue," tutur Haechan menceritakan detail kejadian tempo hari, "gue bisa aja langsung bunuh lo waktu itu, Jun. Tapi gak gue lakuin."

"Kenapa?"

"Karena gue kagum sama lo, Jun. Lo hebat, lo kuat, dan lo baik. Gue emang pembunuh bayaran, tapi bukan berarti hati nurani gue udah mati sepenuhnya," Haechan menarik napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "dari dulu gue emang udah pengen berhenti dari pekerjaan ini, dan tekad gue makin bulat pas gue ketemu lo, Jun."

"Terus kenapa lo gak keluar aja dari dulu? Kenapa masih lo lanjutin?"

"Gak segampang itu untuk keluar." Yuta kembali membuka suara, "sejak lama gue sama Haechan emang udah punya niat untuk keluar dari sini, tapi setiap inget konsekuensi yang harus kita hadepin dan contoh kasus senior-senior kita dulu yang pernah nyoba untuk keluar dan berontak, nyali kita langsung ciut."

"Konsekuensi?" Renjun mengerutkan dahinya bingung, tak mengerti dengan apa yang dikatakan Yuta.

Akhirnya Haechan dan Yuta menjelaskan semuanya. Dari mulai bagaimana bisa kelompok mafia itu terbentuk, awal mula mereka sampai bisa masuk ke kelompok itu, hingga menceritakan kisah tragis yang dialami para senior mereka kala memutuskan untuk keluar dari kelompok itu. Renjun bergidik ngeri sepanjang mendengarkan cerita Yuta dan Haechan. Ia tak menyangka kelompok pembunuh bayaran yang ia pikir hanya sebatas fiksi dalam film ternyata berkeliaran di sekitarnya tanpa ia sadari.

"Kalian selalu urung untuk keluar dari kelompok itu karena takut bos kalian bakal nyakitin orang yang kalian sayang, tapi kan kalian dari panti asuhan yang sama dan punya latar belakang yang sama. Jadi apa yang berusaha kalian lindungi? Kalian kan..." Renjun menggantungkan kalimatnya ragu, "emm- maaf, ngga punya keluarga?"

"Satu-satunya keluarga yang gue punya ya Bang Yuta, dan begitu pun sebaliknya. Kita berdua masuk ke kelompok itu barengan dengan status kakak-adik, jadi kalau salah satu mutusin untuk keluar ya pasti salah satunya bakalan terluka," jelas Haechan dengan raut muka serius.

"Kalau kalian langsung keluar barengan?"

"Dua duanya bakal mampus," jawab Yuta singkat.

"Kenapa gak coba kabur ke luar negeri? Penghasilan kalian kan banyak." Renjun mencoba memberi usul, sekali lagi berusaha menemukan jalan keluar dari permasalahan ini.

Haechan menggeleng lemah, "Bos bakal nyebarin identitas dan seluruh data kasus yang udah dilakuin para anggota yang berusaha kabur. Udah banyak kasus senior kita yang kabur berakhir di penjara, atau bahkan dihukum mati."

Renjun semakin ngeri membayangkan sosok licik dari bos mafia itu. Ia mengacak rambutnya frustasi lalu menelungkupkan kepala ke meja, menyembunyikan wajahnya diantara lengannya. Hingga tiba-tiba terlintas sebuah cara untuk keluar dari permasalahan rumit ini.

"Gue punya ide!" seru Renjun sambil kembali ke posisi duduknya.

camaraderie | hyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang