Ini adalah hari keempat Haechan menginap di rumah Renjun. Keadaan Haechan sudah semakin membaik, kakinya kini sudah tidak lagi terasa ngilu saat dipakai berjalan.
"Jun," Haechan menepuk pundak Renjun pelan, "ke taman yuk. Udah lama gue gak kena sinar matahari, ntar gue gak bisa berfotosintesis."
"Apaan sih Chan, lo pikir lo tanaman?" Renjun mengerutkan dahinya, tak habis pikir dengan ke-random-an otak Haechan.
"Pokoknya ayo temenin gue ke taman, biar kaki gue terbiasa jalan lagi setelah sekian lama cuma rebahan," Haechan sudah lebih dulu menarik lengan Renjun sebelum kata penolakan keluar dari mulut Renjun.
Mereka berjalan beriringan menuju taman di dekat apartment Renjun sembari berbincang. Tak jarang mereka tertawa bersama, namun langsung kembali berdebat lagi setelahnya. Obrolan mereka memang tak jauh dari yang namanya perdebatan. Mereka seringkali memperdebatkan hal-hal yang tidak penting.
"Waah cuaca hari ini bagus. Langitnya indah banget," ucap Renjun sembari mendongak ke atas, matanya menyipit berusaha menatap langit.
"Iya, indah banget," jawab Haechan menatap Renjun lekat. Menurutnya pria manis di depannya itu justru lebih indah dibanding langit di hari yang cerah ini.
"Cloudgazing yuk!" Renjun menarik Haechan ke bawah salah satu pohon rindang di sana lalu langsung berbaring di atas rumput, matanya berbinar menatap indahnya awan yang bergerak beriringan secara perlahan. Haechan ikut berbaring di sebelah Renjun dan menatap ke arah langit. Sesekali ia melirik ke arah Renjun, ikut tersenyum kala melihat sebuah lengkungan manis di bibir mungilnya.
"Apaan sih, Chan?" Renjun akhirnya sadar bahwa sedari tadi Haechan terus saja melirik ke arahnya. Haechan tak bergeming, ia hanya tersenyum sambil terus menatap wajah Renjun lamat-lamat. Tak kunjung mendapat jawaban, Renjun pun memiringkan badannya ke arah Haechan, balas menatapnya balik.
"Kenapa sih, Chan?! Gue jadi takut!" Renjun mulai memukuli dada Haechan dengan kesal. Haechan hanya terkekeh sambil menahan tangan mungil Renjun agar berhenti memukuli dadanya.
"Lo manis, Jun."
Renjun terdiam, pipinya terasa panas. Ia tak mengira kata-kata itu yang akan keluar dari mulut Haechan, awalnya ia kira Haechan akan melontarkan kata-kata yang menyebalkan. Jantung Renjun berdegup tak karuan, hatinya belum siap menghadapi ini.
"A-apaan sih?! Ga jelas!" Renjun membalikkan badannya membelakangi Haechan. Ia tak ingin Haechan melihat semburat merah pada pipi gembilnya.
"Ciyee pipinya merah hahaha! Lo gemesin banget sih Jun, utututu~" Haechan memeluk tubuh Renjun dari belakang, menyandarkan kepalanya pada tengkuk Renjun.
"Apaan sih?! Ga usah peluk peluk gue!" Renjun memberontak berusaha melepaskan lingkaran tangan Haechan dari tubuhnya.
"Kemaren malem aja kita tidur bareng sambil pelukan loh, Jun," Haechan masih mengunci tubuh mungil Renjun dalam pelukannya.
"Itu lain lagi ceritanya! Lepasin gue!" Renjun masih terus memberontak agar Haechan melepaskan pelukannya. Tapi nihil, tenaganya tak sebanding dengan Haechan. Akhirnya Renjun pasrah saja membiarkan Haechan tetap memeluknya, ia mulai berhenti memberontak.
"Nyaman ya di pelukan gue," bisik Haechan tepat pada telinga Renjun.
"Kalau lo ngebacot terus mending lepasin pelukan lo," jawab Renjun ketus.
"Iya iya ampun, gue diem deh."
Haechan memeluk Renjun yang masih membelakanginya itu lebih erat, menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Renjun. Aroma tubuh Renjun dapat tercium dengan jelas. Wangi manis nan segar khas parfum stoberi menyeruak kala Haechan menempelkan wajahnya pada tengkuk Renjun, membuatnya semakin nyaman berada di dekat pria mungil itu. Renjun tak lagi berontak saat Haechan memeluknya, sejujurnya ia pun merasa nyaman berada di dekat Haechan.
KAMU SEDANG MEMBACA
camaraderie | hyuckren
Fanfictionca·ma·ra·de·rie /ˌkäməˈrädərē,ˌkaməˈrädərē/ (n.) rasa saling percaya di antara orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama. . . . Haechan, seorang anggota kelompok mafia terkeji di kotanya mendapatkan tugas untuk membunuh seorang seniman muda...