"Gue ke studio dulu ya, Chan." Renjun memasukkan ponselnya ke saku celana lalu membuka pintu, hendak melangkah keluar.
Haechan yang tengah makan sambil menonton televisi di ruang tamu langsung buru-buru melahap sisa makanannya lalu bangkit dari duduknya, "gue ikut!" serunya seraya mematikan televisi menggunakan remote.
Renjun refleks menengok ke arah Haechan dan menghentikan langkahnya, "ntar lo bosen loh, Chan."
"Gak dong, kan gue bisa liatin lo terus," jawab Haechan seraya menaik turunkan alisnya jahil. Renjun hanya menanggapinya dengan tatapan sinis, bersiap melayangkan pukulan ke arah Haechan.
"Ampun..."
"Yaudah cepetan, sebelum gue berubah pikiran."
ᴖ◡ᴖ · ᴖ◡ᴖ · ᴖ◡ᴖ
"Selamat pagi, Bang Renjun! Udah lama gak ke studio," sapa salah satu pekerja yang berjaga di sana saat melihat Haechan dan Renjun memasuki studio, ia membungkuk sopan kepada mereka.
"Iya nih, belakangan ini lagi banyak urusan lain. Gue ke ruangan dulu ya," jawab Renjun singkat sembari mengulas senyum di bibirnya lalu melangkah pergi ke ruangannya diiringi Haechan di sebelahnya.
Renjun dan Haechan berjalan beriringan menuju ruangan pribadi Renjun yang berada di paling ujung lantai satu. Bau cat menyeruak saat pintu dibuka. Ada banyak lukisan yang disandarkan ke dinding berjajar dengan rapi, beberapa tampaknya masih belum selesai. Ada banyak kanvas kosong tersimpan rapi di pojok ruangan, di sebelahnya ada sebuah kotak yang lumayan besar berisi stok cat, palet, kuas, dan peralatan lukis lainnya.
Renjun langsung duduk di kursi kayu yang berada tepat di depan easel stand nya. Ia menuangkan beberapa cat dengan warna yang berbeda ke paletnya lalu mulai menggerakkan kuasnya di atas kanvas, memfokuskan atensinya pada setiap garis yang ia buat di sana. Haechan duduk di sofa yang tak jauh dari Renjun sembari memperhatikan gerakan tangan pria mungil itu yang tampak lihai melukis di atas kanvas. Walaupun masih berupa garis-garis kasar, Haechan sudah tahu bahwa Renjun sedang menggambar potret seorang manusia. Haechan menyernyitkan dahinya saat garis-garis yang dibuat Renjun mulai membentuk sebuah paras yang ia kenali.
"Lo gambar siapa?" tanya Haechan.
"Masa lo gak bisa ngenalin?" Renjun malah balik bertanya pada Haechan, "ya gambar lo lah."
"Gue mau bilang gitu tapi ntar lo ngatain kegeeran," cibir Haechan, "gue kira lo mau ngerjain projek atau mau nyiapin buat pameran, taunya malah ngelukis gue. Sesuka itu sama gue hm?"
"Yaudah gak gue lanjutin deh." Renjun menyimpan kuasnya lalu mengangkat kanvasnya dari easel stand, hendak menaruh lukisan yang belum beres itu di lantai.
Haechan segera berdiri dari sofa lalu menahan tangan Renjun yang hendak memindahkan kanvasnya, "iya iya, gue diem! Lanjutin dong lukisannya, mau gue pajang di rumah," ujar Haechan memohon.
"Duduk!" perintah Renjun sambil menunjuk sofa dengan telunjuknya.
Haechan mengangguk dan membuat gestur seolah sedang menutup resleting imajiner yang ada di mulutnya. Ia duduk di sofa dan memutar lagu dari ponselnya agar suasananya tak terlalu sepi, lalu kembali memperhatikan Renjun yang sibuk dengan lukisannya.
Tak terasa sudah sekitar tiga jam mereka berada di studio. Lukisan Renjun sudah hampir selesai, namun ia memilih menunda untuk menyelesaikan itu sebab perutnya sudah mulai keroncongan. Maklum, ini sudah lewat jam makan siang.
Renjun membalikkan badannya menghadap Haechan, "Chan, cari makan yuk," ajak Renjun sembari mengelus-elus perutnya, mengisyaratkan bahwa ia lapar.
"Yuk, gue juga udah lapar." Haechan mematikan lagu di ponselnya lalu segera beranjak dari posisi duduknya.
Mereka berjalan ke luar studio, melihat-lihat tempat makan yang terdapat di sekitar sana. Sudah sekitar sepuluh menit berkeliling, tapi mereka masih bingung ingin makan siang dengan apa.
"Eh gue kepengen dimsum deh, di gang deket sini ada tempat dimsum enak banget. Makan di sana aja yuk," kata Renjun menunjuk sebuah gang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Haechan mengangguk setuju, "ayo, boleh tuh," ucapnya seraya menarik lengan Renjun, menggiringnya ke arah gang yang tadi ditunjuk oleh Renjun.
Langit nampak kelabu siang hari ini, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Suasana gang dan daerah sekitaran studio juga nampak lengang. Mungkin karena sekarang masih jam kerja, ditambah cuaca yang mendung membuat orang-orang lebih memilih untuk beraktivitas di dalam ruangan.
"Sepi banget ini gang, masa ada tempat makan enak di tempat kayak gini?" Haechan hanya merasa heran kenapa ada orang yang membuka tempat usaha di tempat yang terpencil dan sepi seperti ini.
"Biarpun tempatnya terpencil tapi enak tau, terkenal banget lagi karena sering diomongin dari mulut ke mulut," ujar Renjun meyakinkan Haechan.
Untuk sampai ke sana mereka harus berbelok-belok menyusuri gang yang cukup panjang itu. Gangnya pun tidak terlalu kecil, masih cukup untuk dilewati mobil dengan lebar 1.475 milimeter. Saat mereka hendak berbelok memasuki gang lain di arah kiri tiba-tiba Renjun jatuh tersungkur ke depan, ia mengerang menahan sakit. Haechan refleks menoleh ke arah Renjun. Ia terkejut bukan kepalang saat menemukan sebilah pisau menancap di punggung Renjun, darah mengalir membasahi baju yang dikenakan Renjun.
"JUN?!" Haechan yang panik segera berjongkok dan mengangkat tubuh Renjun, menahan tubuhnya agar tak langsung mengenai trotoar. Haechan bergetar melihat sosok mungil yang amat ia sayangi terkapar bersimbah darah di hadapannya, matanya memerah menahan air mata.
"Abang lo bilang kalau lo masih belum pulih total dan masih dirawat di rumah pacar lo. Kok bisa ada di sini? Dan ternyata pacar lo itu dia? Si Huang Renjun?"
Suara itu. Suara yang amat Haechan kenali. Suara yang amat ia benci. Bajingan, umpat Haechan dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
camaraderie | hyuckren
Fiksi Penggemarca·ma·ra·de·rie /ˌkäməˈrädərē,ˌkaməˈrädərē/ (n.) rasa saling percaya di antara orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama. . . . Haechan, seorang anggota kelompok mafia terkeji di kotanya mendapatkan tugas untuk membunuh seorang seniman muda...