00.00
"Udah dari tadi Alea tidur di sini?" tanya Dean, menatap lembut istrinya yang terlelap di sofa ruang tamu, wajahnya terlihat begitu damai.
"Iya, dia nemenin gue nonton bola," sahut Arka, tersenyum kecil. "Lo nggak mau tidur di sini? Udah malam sekarang," tambahnya.
"Pulang besok pagi."
Arka mengangguk, tapi raut wajahnya berubah serius. "Ada yang mau gue tanyain soal Alea."
"Soal apa?" Dean mengernyit, penasaran.
"Alea udah mulai cerita tentang masalahnya belum?"
"Sampai sekarang, dia belum cerita apa-apa."
Arka menatapnya dengan sorot mata prihatin. "Coba lihat pergelangan tangannya."
Dean langsung menghampiri Alea, dengan hati-hati memeriksa pergelangan tangan istrinya yang sedang tertidur pulas. Sebuah luka yang terlihat seperti barcode terlihat jelas di sana.
"Kasih tau Alea kalau ngelakuin hal kayak gini nggak baik buat dia. Gue udah ngomong berkali-kali, hampir ratusan kali, tapi dia selalu ngelakuin hal yang sama kalau lagi stres," ujar Arka dengan suara penuh perhatian.
Dean mengangguk pelan. "Aku bawa Alea ke kamar dulu."
Dean segera menggendong tubuh kecil Alea dengan lembut, merasa perasaan protektifnya semakin kuat. Ia menatap wajah tidur istrinya yang terlihat begitu rapuh namun tetap cantik. Dengan penuh kasih sayang, dia membawanya ke kamar dan meletakkannya di atas ranjang.
Dean membersihkan diri sejenak di kamar mandi, lalu keluar dengan mengenakan kaos hitam biasa dan celana pendek. Ia kembali ke tempat tidur, berbaring di samping Alea dan meraih tangan istrinya dengan hati-hati. Dean menatap luka di pergelangan tangan Alea dengan hati yang berat.
Perlahan, Alea membuka matanya, merasakan sentuhan di area tangannya. "K-kak Rey mau apa?!! " tanyanya gugup saat menyadari Dean di sampingnya.
Dean menatap istrinya itu dalam-dalam. "Jelasin ini kenapa?"
"Emm..." Alea terlihat ragu.
"Gak akan di omelin kalau jawabnya jujur," ucap Dean.
"Nggak sengaja kegores waktu di kampus," jawab Alea, menunduk.
Dean menggeleng, tak percaya. "Ini luka barcode, Lea. Jangan bohong."
Alea terdiam, merasa dadanya sesak. "Ini bukan urusan Kak Rey."
Dean menatapnya tajam namun lembut. "Sampai kapanpun, Ini urusan gue. Lo istri gue. Apapun yang menyangkut lo, gue bakalan ikut campur."
Alea menunduk, air mata menggenang di pelupuk matanya. Sialan, kenapa laki-laki ini begitu peduli dan penuh perhatian?
"Rasa sedih, kesel, kecewa, atau apapun itu nggak akan hilang kalau lo pendam sendiri," bisik Dean sambil mengusap pipi Alea yang basah dengan ibu jarinya. "Nggak akan ada yang bisa tau perasaan lo kalau lo cuma diem dan mendem semuanya sendiri."
"Emang nggak kenapa-kenapa." ucap Alea pelan.
"Orang yang benar-benar baik-baik aja nggak akan ngelakuin hal gila kayak gini," ucap dean.
"Jangan lakuin ini lagi. Mulai sekarang, apapun yang bikin nggak nyaman, ceritain ke gue." ucap dean sembari menarik alea kedalam dekapannya.
Alea mengangguk kecil dalam pelukan Dean, merasakan kehangatan yang menenangkan. "Iya..." ucapnya pelan.
"Promise?" tanya Dean.
Alea menunduk. "Masih diusahain, Kak. Aku nggak bisa janji."
Dean menghela napas. "Jadwal ke psikiater hari apa?"
"Aku udah lama stop konsultasi ke psikiater," jawab Alea dengan suara lirih.
"Kenapa?" tanya Dean, bingung.
"Udah nggak apa-apa," jawab Alea.
"Kalau masih ngelukain diri kayak gini, itu artinya masih ada yang nggak beres. Mulai besok, kita ke psikiater, Gue temenin."
"Besok pagi aku ada kelas di kampus."
"Sebelum ke kampus, kita ke psikiater dulu."
Alea menggigit bibirnya, ragu. "Nggak mau, Kak... Jangan maksa."
"Kenapa?"
"Psikiaternya nggak asik, disuruh sabar terus. Kalau aku bisa sabar, ngapain bayar mahal-mahal cuma buat disuruh sabar?" Alea menjawab, sebal.
Dean tertawa kecil, mengusap rambut Alea dengan penuh kasih. "Gimana kalau kita coba psikiater kepercayaan keluarga Anggara? Orangnya asik, nggak bakal bikin mood turun. Kalau dia ngeselin, bilang aja ke gue."
Alea mengangguk pelan.
"Good girl," ucap Dean sambil mengecup ujung kepala Alea, menenangkan istrinya yang perlahan-lahan mulai tenang dalam dekapannya.
•••••••••
07.00
Alea membuka pintu kamarnya dan langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat Klarin berdiri di depan pintu kamarnya.
"Mama ngapain pagi-pagi di depan kamar Alea?" tanya Alea bingung.
"Suami kamu di mana?" tanya Klarin dengan semangat.
"Menantu Mama di mana?" lanjut Klarin penuh antusias. "Kemarin malam suami kamu pulang jam berapa?"
"Kak Rey masih mandi. Kenapa sih, Ma?" jawab Alea sambil mengerutkan kening.
"Ih, yang bener?"
"Beneran, ngapain juga Alea bohong."
"Tapi Dean beneran ada di dalam, kan?"
"Mama kenapa sih, dari kemarin nyariin Kak Rey terus?" tanya Alea, merasa heran.
"Kenapa manggilnya masih 'Kak'? Emang Dean kakak kamu?" Klarin menatap Alea serius.
"Terserah Alea lah, Ma," balas Alea santai.
"Kamu nggak bisa lebih romantis sama suami sendiri? Manggilnya pakai 'sayang' atau 'mas' gitu," kata Klarin, masih tak puas.
"Sama suami aja nggak bisa romantis, apalagi sama Haechan," goda Klarin.
"Kalau sama Haechan, ya bisa dibicarain nanti," balas Alea.
"Makanya, latihan dulu sama Dean, baru sama Haechan," Klarin mengingatkan .
"Aku-kamu, jangan 'Kak Kak Kak'," tegas Klarin. "Dean itu suami kamu, bukan kakak kamu."
"Yang sopan dong sama Pak Suami," lanjut Klarin.
"Siap, Baginda Ratu."
"Ya sudah, kamu turun sana. Mama udah masak banyak," ucap Klarin sambil melangkah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Actor.
RomansaAkibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menikah dengan aktor laki laki tampan dan terkenal adalah sebuah keberuntungan, karena itu adalah impian...