Seminggu berlalu, tapi aku masih belum juga mendapat kabar dari ibu. Demi kebutuhan hidup, ayah harus tetap bekerja dan menitipkanku pada tetangga. Raut wajahnya datar, aku tidak tahu apa yang dirasakan ayah.
Ayah hanya akan bicara saat menawariku makan, dan selebihnya ia diam. Diam termenung. Mungkin ia menyesal, mungkin ayah rindu sama sepertiku atau menyesal pernah hidup dengan ibu.
Usiaku memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal itu. Namun, aku sedikit banyak mengerti arti mencintai dan di cintai. Karena ibu selalu bercerita betapa ia mencintai ayah.
Ibu selalu bilang bahwa cinta akan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Cinta yang tulus akan mampu mengalahkan apapun yang menghalanginya.
Tapi kenapa kenyataannya justru ibu yang tak mampu menghadapi kenyataan ini.
"Yah ... apa ibu akan pulang?" tanyaku.
Ayah menghembuskan napasnya kasar. "Entahlah, kamu berdoa ya supaya ibu baik-baik aja dan segera pulang,"
"Berdoa, aku harus minta sama Tuhan biar ibu pulang, sedangkan Tuhan saja tidak pernah mengabulkan keinginan ibu." kataku.
"Ayah tahu setiap malam ibu berdoa, setiap malam ibu selalu menghadap kepada pencipta-Nya, tapi apa? Tuhan malah membuat ibu pergi yah. Aku yakin Tuhan mungkin marah sama ayah karena ayah sering bertengkar sama ibu. Lalu ayah sendiri bagaimana? Apa ayah juga minta sama Tuhan biar ibu segera pergi dari kehidupan kita?" imbuhku.
"Na ... Kamu kok ngomongnya gitu, ayah nggak pernah minta ibu buat pergi, ayah malah ingin agar kamu sama ibu bisa bahagia. Bisa hidup layak, ayah bisa mencukupi semua kebutuhan kalian. Ayah bekerja keras hanya untuk kalian." tukas ayah.
"Tapi kenapa justru ibu pergi dan nggak pamit sama kita yah, kenapa ibu memilih pergi dan tidak menghiraukan kita. Jika memang ibu marah sama ayah kenapa ibu tidak mengusir ayah saja. Kenapa ibu malah menghilang dan tak ingin ada bersama kita, kenapa yah kenapa?" cecarku.
"Lalu ayah harus apa jika ibumu meminta pergi dari ayah, sekuat tenaga ayah menghalanginya, tapi ibumu bersikeras dengan tekadnya.
Ibumu menganggap ayah begitu rendah, ayah memang melakukan kesalahan, tapi setidaknya beri kesempatan agar ayah bisa memperbaiki keadaan." jelasnya.Hening.
Aku mulai memahami, alasan ibu pergi. Mungkin saat ini aku hanya memikirkan perasaanku tanpa tahu apa yang ada di hatimu, ayah.
Lalu aku harus bagaimana ayah, mampukah aku hidup hanya berdua denganmu, tanpa ibu?
Aku terlalu mendengarkan omongan orang-orang yang mengatakan bahwa ibuku jahat, ibu tidak sayang padaku dan ibu tidak tahan dengan kehidupan yang penuh kekurangan.
Siapa yang ingin merasakan keadaan ini. Apa yang harus aku rasakan saat ini. Tetap menantinya kembali atau aku harus mulai membenci.
Membenci ibuku sendiri. Membenci keadaan ini membenci semua yang telah terjadi. Dan aku, berusaha menguatkan hati agar aku mampu terus menjalani hidup ini.
Aku mampu, aku bisa. Itulah yang selalu terpatri di hati. Yang lebih tidak beruntung dariku masih banyak diluar sana. Bahkan mungkin keadaanya jauh lebih buruk dari ini. Menghibur diri sendiri nyatanya lebih sulit dari menghibur orang lain.
Ayah, bagaimana denganmu, bagaimana hatimu, aku tahu ayah mampu. Kita hanya perlu terbiasa. Terbiasa tanpa ibu.
Mengeluh tidak akan menghasilkan apa pun. Kita harus bangkit walau kenyataan itu sulit. Sangat sulit.
***********************
"Yah, ayah merindukan ibu?" tanyaku dan terhitung enam bulan sejak ibu meninggalkanku.
"Apa ayah masih pantas merindukannya, jika ayah yang telah membuat ibumu meninggalkan kita."
"Apa maksud ayah, kenapa ayah ngomong kayak gitu?"
"Ibumu selalu bilang ia tak tahan hidup dengan ayah. Ayah tidak dapat di andalkan. Ibumu selalu berkata, ia lelah hidup susah. Ayah rasa itu benar.Ibumu ingin mandiri, dia merasa mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa ayah,"
"Tanpa aku juga?"
Ayah diam. Tatapannya kembali kosong.
"Mungkin nanti jika ibumu berhasil, ia akan menjemputmu, mengajaknya hidup bersama dan kamu tidak akan menderita," ucapnya.
Ayah mengusap ujung netranya.
Ia menahan tangisnya, mencoba sekuat tenaga untuk tetap tegar setidaknya di hadapanku.Sebagai seorang anak, dari mereka yang telah sama-sama meninggalkan luka, aku bisa apa selain menjalaninya, mengeluh tidak menghasilkan apa-apa.
Aku harus menguatkan hati. Meski kenyataannya setiap malam mimpi buruk itu akan menghantui.
"Ayah ... Kita harus terbiasa dengan keadaan ini. Aku punya ayah dan ayah punya aku. Hidup terus berjalan yah, aku yakin kita mampu. Setidaknya kita bisa melewati ini berdua. Langkahkan kaki ke depan jangan lagi menunggu dia yang tidak akan pulang."
Aku memeluknya, "Ayah kita bisa, aku tahu ayah tidak selemah itu. Jika kali ini kita jatuh, pasti kita bisa untuk berdiri lagi."
Ayah menatapku. Ia mengangguk meyakinkan hatinya. Ia mengisyaratkan bahwa ia mampu, ia bisa karena aku. Aku untuknya dan ayah untukku.
Ayah jika memang takdirku adalah memiliki keluarga yang tidak sempurna, setidaknya ayah begitu sempurna di mataku.
Bertahanlah ayah demi aku. Demi putrimu. Saat ibu menjauh dari kehidupanku, di saat itu aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku bisa tanpa ibu.
Walaupun kenyataan itu sulit. Bukan berarti, aku tidak bisa. Tapi karena memang belum terbiasa.
Biarkan waktu yang akan membuatku kuat dan menjadikanku wanita hebat.
'Ayah jika di dunia ini semua orang berkata ibu adalah cahaya di kehidupannya, bagiku engkau bukan hanya sekedar cahaya ayah. Engkau adalah satu-satunya alasan aku mampu bertahan.'
Kehidupan yang kami jalani kini sepi, tak ada lagi yang sibuk di rumah kami. Semuanya mulai kita kerjakan sendiri. Ya tanggung jawab ibu, kini berpindah pada kami.
"Oke Liana are you ready?"
tanya ayah ketika kami akan menyapu dan mengepel lantai."Yes Captain!" seruku. Kami hanya ingin kegiatan sederhana ini terasa lebih menyenangkan.
Tentunya sedikit mengurangi rasa yang kian menghimpit dada.
Sesakit ini rasanya ketika seseorang yang terpenting dalam hidup kita meninggalkan kita secara diam-diam tanpa alasan.
Tanpa mau mendengarkan. Dan hanya menuruti ego sendiri.
Aku mulai terbiasa dengan omongan orang. Banyak yang iba, banyak pula yang mengatakan bahwa ibuku tidak tahu diri.
Berpura-pura tuli, dan tidak menghiraukan perkataan orang.
Akuharus terbiasa dengan kata-kata pedas itu.
Dipaksa kuat oleh keadaan.
Nyatanya membuatku semakin yakin dengan kehidupan yang berat ini. Bukan meratapi tapi berdiri bangkit dan memantapkan langkah, aku bisa menjalani ini semua.Karena semua sudah ada porsinya dan Tuhan sudah menyiapkan sesuatu yang indah di luar sana.
Perlahan tapi pasti luka kami bisa terobati. Mulai bisa menata hati, menata diri.
Aku masih sama, aku tetap akan jadi Liana yang kuat dan ceria. Bahkan mereka nggak akan pernah tahu sedalam mana luka yang telah diciptakan oleh seorang wanita yang selalu aku panggil dengan sebutan ibu.
Saat ini yang penting adalah bagaimana aku melewati hidupku tanpa ibu, tanpa rasa sedih yang menggelayuti jiwaku. Aku mampu.
Aku pasti mampu tanpa ibu, aku juga tidak akan meminta untuk ibu di kembalikan oleh Tuhan, karena ia pergi bukan karena Tuhan. Tapi karena sebuah keegoisan.
Karena keadaan pula aku menjadi dewasa sebelum waktunya. Mencoba mengerti dan memaknai bagaimana hidup ini bisa kami lalui.
Ayah kau lah penyemangat ku, karenamu aku mampu melewati hari-hariku. Tetaplah bersamaku ayah, karena aku tak lagi memiliki ibu.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA LIANA [Completed]
General FictionMenjadi bagian dari keluarga yang tak lagi sempurna. Menyaksikan bagaimana ayah dan ibunya berpisah. Meninggalkan bekas luka yang mendalam, bayangan akan pertengkaran dan kepergian ibunya selau menghantui Liana. Hidup berdua dengan ayahnya tak lanta...