Debt colector terus menghubungi ayahku. Mereka meminta agar separuh hutang ayah segera dilunasi. Sedangkan gaji ayah belum cukup untuk membayarnya.
Dengan berat hati, ayah menjual rumah kami. Demi melunasi semua hutang yang menjerat ayah.
Aku dan ayah pindah ke rumah nenek--ibu ayah, yang ada di luar kota. Kebetulan saat itu aku lulus sekolah dasar dan akan masuk ke jenjang SMP, ya kami memutuskan mengubur semua kenangan kami dan memulai hidup baru kami.
Semua kenangan manis itu sirna bersama sebuah luka. Aku melihat orang-orang itu mengambil rumahku,
Tempat yang dulu menjadi pelipur lara dan menciptakan kata bahagia untuk sebuah keluarga.Kini hilang bersama kenangan indah yang perlahan mulai musnah.
Hidup dilingkungan baru. Aku sering membuat ulah. Menciptakan masalah, dan lebih memilih sendiri tanpa teman. Sebenarnya itu sebuah protes. Terlebih ayah mendapat pekerjaan yang jauh, dia tidak ingin hidupku sulit. Ia bertekad akan membuat hidupku lebih baik, walaupun resikonya ia hanya bisa bertemu denganku saat weekend saja.
Aku hanya ingin ayah perhatian seperti dulu, tapi ayah tak memiliki banyak waktu untukku. Dia hanya kerja, kerja dan kerja demi alasannya untuk membuat hidup kami lebih baik.
Aku sering bolos, telat dan jarang sekali mengerjakan tugas sekolah. Aku juga jadi langganan guru BK, pasalnya poin telatku sudah mencapai batas akhir.
Aku tak peduli, karena ku pikir nggak ada lagi yang peduli dengan hidupku. Sekolah saja aku harus berjuang mati-matian agar bisa menemukan angkot dan tidak ketinggalan.
Tapi kenyataannya, setiap hari tidak pernah aku datang tepat waktu. Dan hukumannya selalu sama. Entah harus lari mengelilingi lapangan basket atau menulis dua lembar penuh 'aku tidak akan terlambat lagi.'
Pernah suatu kali, aku tak menghiraukan guru yang sedang memberikan pelajaran, saat ia bertanya aku hanya diam, dan tugas yang ia berikan sama sekali tidak ada yang aku kerjakan.
Guru itu geram, aku juga di bawa ke guru khusus bimbingan konseling agar aku mau mengutarakan keinginanku. Tapi semua tidak berhasil.
Sampai akhirnya aku di beri surat pemanggilan wali murid dari pihak sekolah. Nenek yang bersikeras akan hadir tiba-tiba jatuh sakit dan ayah terpaksa pulang. Bukan perhatian dari ayah yang aku dapatkan.
Ayah justru marah besar. Dia menyalahkanku karena nenek jatuh sakit.
"Sekarang apalagi yang kamu perbuat Na? Lihat nenek kamu sampai sakit dan ini surat dari sekolah kamu, apalagi yang harus ayah katakan padamu? Tidak bisakah sedikit saja membanggakan ayah, tidak berbuat ulah dan buat nenekmu bahagia?" ucap Ayah marah.
"Tidak bisakah ayah sedikit memperhatikanku?aku pikir setelah ibu pergi dan kita mulai hidup yang baru ayah akan lebih menyayangiku dan memperhatikanku, tapi nyatanya ayah lebih sering meninggalkanku. Aku butuh ayah bukan yang lain. Jika ibu sudah tidak bisa aku harapkan, lalu kenapa ayah juga malah menghilang!" cecarku.
"Ayah tidak meninggalkanmu sayang, ayah hanya ingin memperbaiki kehidupan kita. Ayah tidak mau sampai kamu kekurangan seperti dulu. Ayah ingin kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan," sanggahnya.
"Jika yang kuinginkan ayah, apa bisa kau memenuhinya? Jika aku ingin waktumu apa bisa kau mengabulkannya, dan jika aku ingin seperti keluarga yang lainnya walau kita tidak lagi sempurna apa ayah bisa memberikannya?"
Tak ada jawaban. "Aku sudah tahu jawabannya, ayah!" ucapku penuh penekanan. Aku berlalu ke kamar. Ku banting pintu kamarku.
Aku berharap ayah mengejar ku, menemuiku, menenangkan ku. Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi. Lama aku menangis di kamar sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA LIANA [Completed]
Ficción GeneralMenjadi bagian dari keluarga yang tak lagi sempurna. Menyaksikan bagaimana ayah dan ibunya berpisah. Meninggalkan bekas luka yang mendalam, bayangan akan pertengkaran dan kepergian ibunya selau menghantui Liana. Hidup berdua dengan ayahnya tak lanta...