"Afnan kenapa?" Raihan menuntut pertanyaan saat dokter yang mungkin sebaya dengannya baru saja keluar dari ruangan Afnan. Ryan, dokter itu menghela "dia tuh punya penyakit lambung, udah kronis." Raihan seolah tak puas, masih menatap Ryan menunggu ucapan selanjutnya.
"Terus apalagi? Gue tau, bukan cuman itukan yang mau lo bilang?"
"Ada yang harus gue selidik tentang Afnan, ada yang aneh sama tubuhnya. Gue harap cuman dugaan gue doang, dan itu ga bener." Raihan mengusap kasar wajahnya. Sudah ia duga, pasti ada yang ganjal dengan Afnan.
"Han, luka di tubuh afnan,"
"Itu gue, dan gue nyesel demi Allah." Raihan hampir menangis, bagaimana tidak. Saat Ryan membuka baju Afnan saat akan memeriksa tubuhnya ia menemukan begitu banyak luka di tubuh anak itu. Luka cambuk yang masih basah, atau yang sudah menghitam. Luka lebam, bahkan...
"Ada sayatan di pergelangan tangannya, dan itu masih baru. Lo juga?" Raihan membelalak "demi apa? Luka sayat? Masih baru?!"
Ryan mengangguk, "Afnan depresi. Gue tau. Tolong, lebih baik sama dia. Dia juga anak lo sama Anindira. Anak kandung lo, darah daging lo. Gue tau alesannya, tapi demi Allah itu ga bisa di terima. Anindira pergi bukan salah Afnan, itu udah takdir Allah, udah di garisin. Hidup mati seseorang, bukan kita yang pegang. Dan Afnan ga tau apa-apa. Afnan cuman titipan Allah yang harus lo jaga, bukan justru lo rusak. Sorry, tapi gue ga tega liat Afnan sekarang."
Raihan tertohok, ucapan Ryan seluruhnya benar. Tak ada yang salah dan tak ada yang bisa di elak.
"Besok dateng ke ruangan gue jam sepuluh, hasil tes lab nya keluar. Afnan biar istirahat hari ini."
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Afnan melenguh, kepalanya terasa berat dan indra penciumnya menghirup bau menyengat. Keningnya mengernyit, baunya khas dan Afnan tak suka.
"Ukh!" Ia berusaha mendudukan dirinya, sedikit sulit saat kepalanya masih terasa begitu sakit.
"Ini-" huzlenya melebar, menatap bergantian pintu bercatkan putih dan selang infuse yang menempel di tangan kanannya.
Tangan kirinya bergerak brutal mencabut paksa jarum infuse, beringsut turun dengan tergesa. Siapa yang membawanya ke rumah sakit?
"Ish!" desisnya, tubuhnya limbung saat kakinya menapaki lantai. kepalanya terasa berputar hebat, huzlenya tertutup sebentar meringankan sakit di kepalanya.
"Afnan!" kepalanya mendongak saat suara berat memanggilnya panik, kakinya melangkah mundur saat tau siapa yang berdiri di ambang pintu. Menatapnya...
Khawatir?
Kening Afnan mengernyit, merasa asing dengan ekspresi wajah di hadapannya.
"A-ayah?" tangannya memegang kepalanya yang kembali berdenyut sakit "Kenapa infusenya di cabut?!" Raihan memekik histeris saat darah tercecer dari tangan bekas jarum infuse yang Afnan cabut paksa.
Tubuh Afnan kembali limbung dan dengan cepat Raihan berlari menopang tubuhnya "kamu tiduran lagi, ayah mau panggilin dokter Ryan dulu." titahnya, Afnan tak menyahut. Sakit di kepalanya terasa semakin menjadi.
Ada apa dengan kepalanya sebenarnya? Biasanya hanya sakit sebentar dan setelah itu hilang. Tidak berkepanjangan seperti sekarang.
"Ayah," langkah Raihan berhenti di ambang pintu, kembali membalik tubuhnya saat suara lirih Afnan memanggilnya pelan. Ia kembali menuju si bungsu "kenapa? Sakit banget ya kepalanya? Bentar oks, ayah panggilin dulu-"
"Ng-ngga usah, Afnan gapapa. Afnan mau pulang aja. Ga usah manggilin dokter lagi, gapapa. Makasih sebelumnya. Maaf ngerepotin ayah, maaf ayah harus ngeluarin uang banyak gara-gara Afnan, Afnan janji bakal ganti nanti kalau Afnan udah dapet gaji."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]KAIRAV [Jaemin Ver.]
FanfictionYang ia tau, impian itu adalah mimpi yang tak pernah tertidur. "Afnan yang dari awal emang salah udah lahir. Harusnya Afnan ga lahir, kan yah? Harusnya waktu itu bunda gugurin Afnan, bukan malah mertahanin Afnan dan ngorbanin nyawa bunda buat anak...