Raihan berlari di dalam lorong rumah sakit yang terlihat sepi, wajahnya memucat panik. beberapa menit yang lalu ia menerima telepon dari pihak sekolah Afnan jika si bungsu mimisan dan tiba-tiba pingsan.
Beberapa kali sebenarnya Afnan yang sering mimisan, tapi tidak sampai pingsan. Ini puncaknya.
Perasaannya semakin kalut apalagi saat ia menerima hasil tes lab afnan dari Ryan. Membuat dunia serasa runtuh menimpa dirinya.
"...leukimia,"
"Afnan Kairav Ravindra positif leukimia stadium akhir."
"Becanda lo? Ga mungkin! Afnan."
"Itu kenyataannya, sorry."
"Ngga! Gue ga percaya sama lo!"
"Kapan terakhir kali lo liat dia mimisan?"
"Itu-"
"Dia sering mual, semua makanan yang dia makan keluar lagi di barengi darah. Itu bukan lambung yang kronis, tapi penyakitnya yang udah kronis. Afnan ngebiarin rasa sakitnya, Han. Dan ada beberapa gejala yang mungkin lo ga tau begitupun afnan yang ga menyadari itu."
"Afnan--"
"... Udah stadium akhir, Han."
Langkah Raihan berhenti di depan pintu ruangan Afnan, tak langsung masuk sebelum ia mengatur nafasnya yang sedikit tersenggal, menghapus kasar air mata yang menggenang di pipinya.
'Ngga ngga, Afnan bakal baik-baik aja.'
Kepalanya menggeleng menepis segala macam pemikiran bodohnya.
"Afnan," Raihan masuk, menyambulkan kepalanya di ambang pintu. Ada dua orang lagi di dalam selain Afnan "temennya Afnan, ya?" keduanya mengangguk bersama "aku Reno, Om. Dan ini Arjun. Kita berdua temennya Afnan."
Raihan mengangguk, terpaksa tersenyum walau dadanya menyesak menatap tubuh di atas brankar. Afnan masih belum bangun. "Gimana keadaan Afnan?"
"Udah mendingan kata dokter yang tadi meriksanya, demamnnya juga udah turun." Raihan mengangguk mengerti "makasih udah nganterin Afnan ke sini, kalau ga ada kalian om ga tau gimana Afnan nantinya."
"Sama-sama, om. Oh iya, berhubung om udah dateng, dan ini juga udah mau Magrib, kita pamit pulang dulu om. Takut di cariin bunda." Raihan mengangguk seraya tersenyum tulus "sekali lagi, makasih banget."
Raihan mendudukkan dirinya di samping bangsal Afnan, menatap sendu wajah pucat si bungsu "maafin ayah.." nadanya lirih terdengar dalam, ada isakannya kecil saat ucapan Ryan kembali terngiang.
"Bunda,"
Lagi-lagi dadanya kembali menyesak, mendengar Afnan mengigaukan ibunya dalam tidur.
"Afnan."
Afnan
Afnan
Afnan
Aku akan terus tersenyum untuk meringankan hariku, karena setiap hari, hidupku seperti sebuah mimpi (Hope is a dream dosen't sleep)
"Ngh." Afnan melenguh pelan, terusik dengan sesak di tenggorokannya yang mengering. Raihan berdiri, menatap khawatir wajah pucat nya "udah bangun? Ada yang sakit? Kepalanya masih pusing banget? Bentar ayah panggilin dok-"
"Pu-lang, Afnan mau pulang." Raihan mengusap kasar wajahnya, ia hampir frustasi tiap kali Afnan minta pulang.
"Afnan dengerin ayah," anak itu menatap Raihan takut, wajah pucat nya semakin memucat saat rahang Raihan mulai mengeras "...ayah yang tanggung semua. Biaya rumah sakitnya ayah yang tanggung. Tetep disini sampe dokter sendiri yang ngebolehin Afnan pulang, ngerti?" nadanya lembut namun menuntut. Afnan menunduk takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]KAIRAV [Jaemin Ver.]
FanfictionYang ia tau, impian itu adalah mimpi yang tak pernah tertidur. "Afnan yang dari awal emang salah udah lahir. Harusnya Afnan ga lahir, kan yah? Harusnya waktu itu bunda gugurin Afnan, bukan malah mertahanin Afnan dan ngorbanin nyawa bunda buat anak...