8 | Convinced

267 46 1
                                    

Maaf sekali semalem kepencet, padahal niatnya baru mau nge-save, hehe. Bisa follow aku untuk mendapatkan notifikasi dari cerita ini maupun yang lain. Terima kasih sudah menanti... 💓

•|•

Irene selalu berusaha memperlihatkan sisi kuatnya, ia tak suka terlihat lemah. Apalagi di hadapan mereka yang ia sayangi, Irene tak mau. Menerima tatapan berupa belas kasihan, ia tidak pernah mengharapkannya.

Namun untuk hari ini, sepertinya ia sedang gagal. Dirinya tak bisa bertahan lagi. Semua yang sudah menumpuk, melebihi batas, tak mampu ia bendung kembali. Membuat perempuan itu pada akhirnya menumpahkan segala emosi yang selama ini ia pupuk. Dan di dada Chanyeol, ia merasa bebas.

Dalam dekapan lelaki itu, Irene begitu leluasa meluapkan segalanya. Ditambah belaian tangan Chanyeol yang membuat ia tak ingin ini berakhir segera. Kerasionalannya akan tak ingin diberi belas kasih tiba-tiba lenyap. Prinsip yang ia pegang erat-erat itu menguar entah ke mana. Yang ia rasakan hanya nyaman dan rumah. Ya, pelukan Chanyeol membuatnya merasa seperti berada di rumah.

Ketika Irene sudah cukup lelah menangis, ia mundur perlahan. Chanyeol yang paham akan isyarat tersebut lantas menarik lengannya.

"Aku sebenarnya tidak suka melihatmu seperti ini," ucap Chanyeol sembari mengusap lelehan air mata di kedua pipi Irene, "aku terlihat sangat jahat karena sudah membuatmu menangis."

Irene memberikan gelengan. "Tidak, kau tidak salah. Kita ... tidak ada yang salah. Kau benar, aku mencintaimu. Tapi ...,"

"Tapi?"

Perempuan itu menarik napas dan menggeleng lagi. "Keadaan tidak memberikan ruang untuk kita, Chanyeol."

Giliran Chanyeol yang sekarang menggeleng. "Tidak, ini bukan tentang keadaan. Ini tentang kita, Joohyun. Tentang mau tidaknya kita untuk membangun ruang itu sendiri. Kau hanya belum yakin saja. Oleh karena itu, di sini aku akan meyakinkanmu," terang lelaki itu, lalu ia meraih kedua tangan Irene. "Mari kita berkencan, Joohyun-a. Kita bangun ruang milik kita sendiri. Kau mau, bukan?"

Irene terdiam cukup lama. Merespon ajakan Chanyeol mungkin hal yang mudah, tetapi mengambil keputusannyalah yang sulit bukan main. Sampai setelah bergelut dengan benaknya ia kemudian memutuskan untuk menaikkan kadar egonya. Mengesampingkan orang lain dan mengutamakan dirinya sendiri. Ia juga butuh bahagia.

Perempuan itu lantas menarik tangan Chanyeol dan meletakkan keduanya di dadanya. Dapat Chanyeol rasakan detak yang teramat cepat. Seolah ada yang tengah berkejaran di dalam sana. Ini sama seperti apa yang tengah ia rasakan. Persis. Mungkin sedikit lagi, jantung mereka akan meledak secara bersamaan.

"Kau merasakannya? Aku mungkin bisa mengontrol ekspresiku, tapi tidak dengan ini tiap kali bersamamu." Irene berkata lembut sementara Chanyeol masih menunggu lanjutannya. "Aku—aku mau. Aku ... mari bangun ruang itu untuk kita, Chanyeol—a. Tanpa ada campur tangan pihak manapun. Hanya kita berdua."

Chanyeol yang mendengarnya menatap perempuan itu tak percaya. Ia seperti baru dijatuhi ribuan bom yang kemudian memekarkan bunga-bunga di sekelilingnya. Tidak pernah Chanyeol merasa sebahagia ini. Kebahagiaan dengan jenis yang berbeda. Tidak seperti ketika ia berkumpul dengan keluarga saat pesta pernikahan Yoora, atau pada saat grupnya mendapat penghargaan di atas panggung, ini berbeda.

Maka yang terjadi selanjutnya ialah, senyum kebahagiaan terpancar di wajah kedua insan yang pada detik itu juga mulai membangun ruang mereka sendiri. Ruang di mana keduanya dengan leluasa bisa saling mencinta. Tanpa memikirkan risiko di kemudian hari, sebab bagi mereka yang terpenting adalah sekarang, hanya hari ini.

OUR SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang