Chapter 19

729 84 0
                                    

Dari kejauhan, mereka melihat siluet seseorang tengah berkacak pinggang dengan tatapan tajam yang dapat di rasakan secara jelas. Aura tegasnya menguar begitu kuat membuat bulu kuduk mereka merinding.

Vincent mengetatkan pegangannya di lengan Aron, membuat si empu memutar bola mata malas. Badannya sudah sakit akibat bertarung dengan Grizelle dan sekarang semakin sakit akibat pegangan kuatnya.

Pak Deon yang geram melihat langkah pendek mereka pun berteriak, "LEBIH CEPAT JALANNYA!"

Segera, mereka mempercepat ayunan kakinya membuat Aron dan Andrian terseok-seok akibat dorongan Vincent dan Phelan.

Pak Dema tersenyum menatap murid-muridnya ngos-ngosan. Netranya menatap penuh Grizelle, "Gitu aja ngos-ngosan. Dasar lemah!" ejeknya santai.

Mereka melongo, 'Lemah katanya?'. Belum juga protes, mereka harus mendengar kekehan Pak Deon yang semakin membuat mereka kesal bukan main.

"Bapak tega ya sama kami. kami 'kan udah capek di perjalanan. Eh ... sampai rumah malah dikerjain," keluh Vincent setelah berhasil menetralkan napasnya.

Satu alis Pak Deon terangkat, "Nggak usah curhat! Saya lagi nggak minat dengerin curhatan murid."

Vincent memejamkan matanya, menetralkan emosi yang bergejolak mendengar ucapan Pak Deon. Akhirnya, dia memilih diam dari pada ikutan stres menanggapi ucapan guru labilnya.

Grizelle maju, berhadapan langsung dengan Pak Deon yang masih dengan sikap tak berdosanya. Wajah cantiknya nampak serius membuat Pak Deon ikutan serius.

"Bapak belum pernah disentilkan ginjalnya? Mau coba nggak, Pak?" tanya Grizelle dengan ringannya.

"Apa?"

"Pfftt,"

Wajah mereka memerah menahan tawa akibat mendengar pertanyaan Grizelle, berbanding terbalik dengan Pak Deon yang nampak syok.

Aron saja sampai menggelengkan kepalanya melihat murid tak tahu diri seperti Grizelle. Bagaimana mungkin seorang murid berniat menyentil ginjal gurunya sendiri.

"Dasar gila," gumam Andrian menatap Grizelle.

Tangan Phelan dengan ringannya melayang ke bibir Andrian secara keras. "Diam!" tekannya menatap tajam.

Andrian mendengus, merasakan nyeri dibibirnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain menurut.

"Pak, kami mau istirahat. Bisa langsung aja nggak?" keluh Naya tak sabar.

Pak Deon mengangguk, niatnya juga sudah tercapai mengerjain mereka. Jadi, tak ada alasan lagi untuk berlama-lama. "Kalian istirahat aja! Biar mereka Bapak yang bawa."

"Laporannya, Pak?" tanya Rissa.

"Nggak perlu. Bapak udah tahu kelakuan kalian. Jadi, nggak perlu laporan segala."

Mereka cengengesan membuat Pak Deon mendengus. "Seumur-umur baru kalian yang berani ambil surat klien di meja Bapak," gerutu Pak Deon mengambil alih Aron dan Andrian.

"Yah 'kan sama aja, Pak. Nanti juga Bapak kasih ke kita suratnya ...," sahut Vincent cepat.

"Sama aja gundulmu. Bapak niatnya mau kirim tim lain buat nyusul kalian. Bukannya kalian embat semua!" kesalnya.

"Kenapa belum masuk?" interupsi seseorang mengalihkan atensi mereka.

"Eh, Pak Luxan. Ini juga mau masuk kok, Pak. Gara-gara mereka curhat jadi agak lama masuknya, Pak ...," jawab Pak Deon santai membuat mereka cemberut.

Ingin sekali mereka menyangkal jika tak mendapat tatapan membunuh Pak Deon.

Pak Luxan mengangguk, "Ya sudah. Kalian segera istirahat! Deon segera masukan mereka ke penjara!" perintahnya membuat Andrian menunduk sedih.

The Legend Of The DaggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang