18. Bukan Akhir

653 111 4
                                    

BROMO terkekeh, melambaikan tangan nya pada semua yang melihat nya tak rela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BROMO terkekeh, melambaikan tangan nya pada semua yang melihat nya tak rela. Mengajak koper hitam untuk segera pergi.

Ia pun tak kuat. Tak pernah mau meninggalkan tanah beserta sahabat-sahabat nya. Tak pernah mau untuk pergi.

Namun janji adalah janji. Ayahnya sudah mengurus soal video. Terbukti dinyatakan tidak benar. Hoax.

"Sampai jumpa."

Namun sebelum ia benar-benar berbalik, seseorang dengan erat memeluk tubuhnya dari belakang.

Isak tangis terdengar, kemudian disusul dengan pelukan-pelukan hangat yang lain.

"Bang, jangan pergi! Kan semuanya bohong! Semuanya gak bener! Kenapa tetap pergi juga!"

Arkan berteriak kalap. Yang lain mengangguk.

Bromo menghela napas berat. Memang semuanya di luar kendali.

Ia membiarkan semua orang yang memeluknya mengeluarkan apa yang mereka rasakan.

Hingga tuntas.

Serasa semua sudah banyak kehilangan air mata, dan tidak juga kunjung berhenti, Bromo dengan cepat berbalik, membuat semua orang yang memeluk nya kini memandang nya dengan mata merah dan wajah sembab.

Ia memulainya dengan wajah Arkan di depannya, mengusap wajah sembab itu dengan lembut sembari terkekeh.

"Cowo bukan? Masa nangis sih? Haha."

Arkan masih terisak, ia mengusap air matanya sendiri, kemudian Bromo dengan teratur juga ikut mengusap wajah-wajah yang menangis di sekitarnya.

"Jangan nangis dong. Gue belom mati! Gue cuman mau pergi sebentar. Nanti, kalau gue udah sukses, gue bakal balik. Janji gue."

Eksa yang melihat itu hanya tersenyum. Ia tak menangis, berdiri di barisan paling belakang mengenang semuanya.

"Jangan kan pas lo sukses. Kita semua bakal ada kalo lo lagi sulit-sulitnya. Jangan lupa balik Mo."

Eksa melempar senyum, merangkul Diar di sampingnya yang sudah bergenang air mata.

"Gue gak akan pernah lupa sama rumah gue sendiri."

Ia juga melingkar senyum, kemudian satu anggukan pun lolos.

"Nah, semuanya, dengerin gue."

Melihat semuanya menduduk, membuat Bromo tersenyum miris. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa.

Ia mengacak rambut Suwa yang masih menarik ingus sedari tadi.

"Gue ada satu kalimat. Yang gue yakin lo semua bakal ketawa dengerinnya."

Tidak ada yang menanggapi. Membuat satu kedepan tertahan keluar dari bibir Diar. Pemuda itu sudah menangis.

"Lo garing dari awal babi."

Bromo ikut terkekeh.

Ia mengambil nafas. Berharap kalimat ini benar-benar bisa membuat suasana lebih baik.

"Jangan bersedih karna kita telah berpisah—"

Ia menanti-nanti respon, namun masih belum.

"—Tapi bersyukur karna kita pernah ada. Hahahaha, anjir, apaan nih namanya? Dilan Bromo Adiksa gue!"

Namun seperti yang difikirkan, tidak ada yang tertawa.

Semuanya malah semakin nenunduk. Dan waktu tak pernah merunduk.

Pesawat nya akan segera berangkat.

"Arggh! Gue harus apa biar kalian nggak sedih! Jangan nangis doong!"

Jangan tanya sudah berapa pasang mata yang memperhatikan perkumpulan itu.

Cukup aneh bagi masyarakat melihat segerombol pemuda menangisi pemuda yang lain. Namun itulah yang benar-benar terjadi.

Mendengar keputusasaan Bromo, Meru yang sedari tadi diam di belakang memegang bahunya, menatap semuanya satu persatu.

"Gini aja."

Beberapa kepala mendongak mendengar suara Meru yang sedari tadi bungkam.

"Setiap hari kita video call deh kalo kalian kangen. Mabar juga masih bisa. Kalo kalian pengen banget ketemu Bromo, jadi orang sukses dulu, gue bayarin tiketnya."

Mereka terkekeh. Tau benar ada kalimat penyemangat yang terselip di sana.

"Kita tetep keluarga. Gue cuman mau liburan sebentar, hehe."

Semuanya menyeka air mata. Mengangguk samar lalu terkekeh. Kembali memeluk Bromo dan melepaskan pemuda itu untuk sementara waktu.

"Kalo gitu gue pergi. Jaga diri kalian masing-masing. Jangan ada amarah saat bikin keputusan. Jangan ada bahagia saat saudara kalian terluka."

Mereka menyeka ingus. Mengangguk mantap layaknya seorang prajurit.

"Gue pergi."

Sebelum ia berbalik, pemuda itu menyempatkan diri untuk merangkul Eksa dan Diar, mengusak pucuk kepala Arkan dan Suwa.

Lalu melambaikan tangan.

Bromo berbalik. Ia menggigit bibir dalam. Berat sekali melakukannya.

Meru juga ikut melambaikan tangan.

"Gue nggak bercanda sama apa yang gue bilang."

Lalu sahutan-sahutan 'selamat tinggal' 'selamat jalan' hingga 'baek-baek bang!' menggema di dalam ruangan bandara itu.

Beberapa orang berdecak kagum,  orang-orang yang sempat tertidur menunggu pesawat terbangun, anak-anak bayi yang menangis terdiam.

Seolah ikut mengenang, peristiwa perginya seorang kapten.

Meru mengikuti langkah Bromo. Tak juga berbalik untuk sekedar melihat wajah-wajah yang sudah ia kenal beberapa tahun terakhir.

Ya. Ia ikut dengan Bromo. Satu permintaan yang sudah pemuda itu gunakan dari tiga permintaan yang Ayahnya berikan.

Meru tak masalah. Ayah serta Bunda nya juga tidak apa-apa. Karna mereka cukup mengerti dengan keadaan Bromo. Pemuda itu masih teramat kecil untuk memulai petualangnya seorang diri.

Maka mereka menitipkan Meru.

Langit mendung. Benar-benar mendukung ingatan tidak menyenangkan bagi sebagian orang.

Lalu hujan tiba, bersyukurnya tidak disertai dengan badai. Setidaknya untuk saat ini.

tbc.

...

KARMA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang