end

1.3K 124 3
                                    

KINI beberapa tahun sudah berlalu.

Bromo dan Meru yang sudah menginjak usia 22 tahun benar-benar disibukkan dengan pekerjaan dan kuliah s2 nya. Mereka harus pintar me-managemen waktu antara belajar dan mengurus pekerjaan sebagai anak pekerja paruh waktu.

Walaupun Bromo dan Meru sudah dibantu oleh sang Ayah untuk dipekerjakan di salah satu cabangnya di Kanada, tetap saja rasanya sibuk hingga mau mati.

Waktu itu saja Meru hampir menyerah karna tugasnya yang sungguh, banyak sekali! Ia bahkan masih terbangun dengan mata memerah ketika Bromo dengan santainya terlelap tidur di belakang.

Otaknya tidak selancar Bromo.

Maka waktu itu air matanya bergulir. Pusing dan tidak ingin menyerah menjadi satu. Berkumpul di dalam otak dan menyalahkan diri sendiri mengapa ia sepayah ini.

Ia menangis dalam diam. Tak ada sesegukan. Ia hanya menyerah namun tak ingin pasrah. Ia hanya kecewa namun masih ingin melanjutkan.

Satu tepukan ia terima di bahunya. Bromo tersenyum tertahan melihat wajahnya yang sembab kala itu.

"Apa lu? Sana tidur, jan liat-liat."

Meru menghapus air matanya dengan lesu, mencoba fokus dengan kertas-kertas yang berserakan di atas meja belajarnya.

"Sini gue bantu, biar cepat kelar. Udah jam 2 ini, kapan lu tidur?"

Bromo menarik kursi yang lain, duduk di samping Meru yang membisu.

Hingga tangan penuh urat itu mengambil pulpen, membaca soal dan mulai menuliskan sepatah dua patah kalimat yang belum rapi di atas kertas.

Beberapa menit berlaru, masih dengan meru yang enggan berbicara.

Hingga Bromo menyelesaikan pekerjaan Meru.

"Noh, salin. Lu nyogok apa gimana si Ru, kok bisa masuk osis?"

Bromo mengusak pucuk kepala Meru, membuat rambut yang sudah menutupi dahi itu berantakan.

Yang diusak hanya diam, menatap sebal kertas dengan tulisan tangan milik Bromo.

"Kok cepet?! Gue ngapa lama banget elahhh?!"

AAAAA! Rasanya Meru kembali ingin menangis.

"Hahaha, udah cepetan catet, lampu belajar lu bikin gue nggak bisa tidur."

Meru dengan cepat mengambil pulpen, mencatat rangkaian kalimat yang sudah Bromo tulis dengan tulisan yang lebih rapi.

Sebelumnya ia sudah mengucapkan terimakasih, lalu benar-benar tenggelam dalam catatannya.

Kemudian tiba-tiba saja sebuah pikiran jahat muncul di otaknya. Nanti biar Bromo saja yang menyelesaikan semua tugasnya, daripada harus jadi gila dan menangis seperti anak kecil.

Kalau tidak mau tinggal keluarkan saja air mata buaya. Meru minta belikan rumah pun pasti akan terwujud dalam satu malam.

Namun itu hanya pikiran saja. Tidak pernah terwujud karna Meru juga adalah tipe pekerja keras.

***

Sudah dua bulan saat ia mulai bekerja sebagai salah satu pelayan di cafe mewah milik Ayah Bromo di Kanada. 

Tidak susah, hanya membuat pesanan dan beberapa kali menjadi yang mengantarkan. Manajernya juga terlihat senang dengannya, urusan dekorasi saja bahkan acap kali meminta saran pada dirinya. Seorang Mahameru.

Bromo berbeda shift, kadang-kadang mereka bertemu dan satu waktu bekerja ketika beberapa teman meminta tukar. Mereka memang bekerja di tempat yang sama, tentu saja karna permintaan Bromo, ia beralasan agar lebih mudah ketika saling mencari satu sama yang lain. 

KARMA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang