• Kabur •

90 18 1
                                    

PLEASE VOTE AND COMMENT

PLEASE VOTE AND COMMENT

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Auristella

Pokoknya gue kesal banget sama nyokap. Didalam mobil, dalam perjalanan pulang, gue terus mendumel. "Kenapa harus dijodohin sih Mi? Lala itu baru 19 tahun. Masih muda. Masih bisa cari jodoh sendiri." Protes gue.

"Mami gak mau kamu salah langkah. Mami gak mau kamu ketemu sama cowo yang salah. Makanya, sengaja Mami pilihin laki-laki yang baik dan mapan buat kamu." Balas Mami dengan tenang.

"Emang Mami tau dari mana dia baik? Bisa aja kan apa yang menurut Mami baik, belum tentu baik buat aku."Gue melontarkan pemikiran gue.

"Feeling seorang ibu, nak." Huffh.. gue gak mau membalas ucapan Mami lagi. Capek gue, gak pernah menang kalau udah berdebat sama Mami. Harusnya gue pakai aksi aja, biar Mami luluh dan mengubah pikirannya.

Ketika sampai dirumah, gue langsung saja mengeluarkan ultimatum yang sengaja gue tahan dari tadi.

"Kenapa gak masuk?" Heran Mami saat gue masih enggan beranjak dari tempat gue berdiri.

"Mami seriusan mau nikahin Lala sama anak yang tadi?" Tanya gue dengan wajah serius.

"Iyalah. Mantu kayak Kun susah dicari tau." Angguk Mami yakin.

"Okay kalau gituh, Lala mau kabur aja. Lala gak mau nikah sama dia." Ucap gue dengan penuh penekanan.

"Kamu udah gede. Jangan kekanakan. Main kabur-kabur gitu, kamu pikir bagus?" Mami mulai kesal.

"Nah Mami sendiri kan yang bilang kalau Lala udah gede, jadi harusnya Mami membatalkan perjodohan ini. Lala sudah sangat gede untuk menentukan siapa laki-laki yang pantas untuk menikah dengan Lala."

"Mami pusing sama pemikiran kamu. Terserah kamu aja sekarang." Ucap Mami kemudian ia pun masuk kerumah.

Gue hanya tersenyum kecut sambil menahan air mata saat melihat Mami masuk kedalam. Sebagian dari gue berkata bahwa harusnya gue masuk juga kedalam, tapi sebagian dari diri gue pun seolah menahan langkah kaki gue untuk masuk. Bagian diri yang paling egois pun menang. Malam itu gue memutuskan untuk kabur dari rumah.

•••

Gak tau kenekatan dan keberanian dari mana, gue bisa sampai di Bandung. Untungnya gue gak kenapa-kenapa dalam perjalanan tadi. Sehingga, gue bisa sampai di depan rumah bercat putih dengan nuansa klasik.

Awalnya gue ragu untuk menelepon salah satu penghuni rumah ini, mengingat ini sudah tengah malam. Namun, jika gue gak meneleponnya, lantas malam ini gue tidur dimana? Di jalan? Kalau ada orang jahat gimana? Kalau gue diperkosa gimana?

"Hallo dek?" Syukurlah telepon gue diangkat.

"Abang dimana?" Tanya gue.

"Dirumahlah dek. Kenapa? Gak bisa tidur?" Tebak Abang.

SelipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang