Bismillahirrahmanirrahim, semoga suka dengan part ini. Jangan lupa vote dan juga komen ya, terima kasih❤️
----
Puncak dari rasa mencintai bukanlah memiliki, melainkan merelakan.
-Imam untuk Airin-
----
Dua hari kemudian, semuanya terasa begitu cepat. Aku terduduk diam sambil menundukkan kepala. Di hadapanku sudah ada mas Iqbal yang sedari tadi menunggu jawaban atas pertanyaan yang ia tanyakan. Sebagai anak sulung, tentu mas Iqbal mau yang terbaik untukku, terlebih saat ini mas Iqbal lah pengganti bagi bapak dan juga ibu.
Aku hanya bisa terdiam saat rentetan pertanyaan terus-menerus ditanyakan kepadaku.
Aku menghela napas panjang. Jujur ini bukanlah perkara yang mudah untuk aku lakukan. Terlebih ketika aku mengetahui background kehidupan dari sosok Fahmi yang hanya seorang pelayan kafe. Aku takut, jika nantinya kehidupan rumah tanggaku tidak akan bahagia karena ekonomi yang tidak memadai.
Katakanlah bahwa aku adalah perempuan yang terlalu pemilih. Tapi bukankah seorang perempuan harus jual mahal dan harus memiliki standarisasi laki-laki idamannya?
Aku takut, setelah menikah nanti aku tidak bisa untuk shoping barang yang ku mau, jalan-jalan mengunjungi destinasi wisata di seluruh dunia, dan yang paling terpenting, apakah nanti Fahmi sanggup untuk membelikan barang-barang branded yang ku mau?
Ah, itu terlihat sangat mustahil.
Coba lihat saja lemari pakaian dan juga tasku. Rata-rata semua bermerek terkenal. Dari mulai Gucci, Chanel, Prada, hingga Louis Vuitton.
Tentu barang-barang itu bukanlah barang yang murah yang kapan saja bisa dibeli. Aku harus mati-matian mengumpulkan sisa uang bulananku yang diberikan bapak dulu. Dan nanti, apakah Fahmi sanggup mencukupi seluruh kebutuhan nafkahku?
"Sudahlah, apalagi yang kamu pikirkan?"
Aku tertegun. Andai mas Iqbal tahu, banyak sekali pikiran-pikiran yang terus-menerus bergelut dalam otakku. Aku tak mudah untuk mengatakan iya, karena semuanya harus dipikirkan dengan matang.
"Menurut mas, Fahmi adalah laki-laki yang sempurna, yang pantas menjaga dan membimbing kamu. Lagi pula, waktu itu kan kamu sudah menyanggupi permintaan bapak untuk yang terakhir kalinya?"
Aku berdecak sambil memilin ujung jilbabku. Kalau saja waktu bisa dikembalikan pada masa itu meskipun hanya satu menit, aku akan mempertimbangkan kembali ucapan bapak jika tahu kalau laki-laki yang dimaksud adalah seorang pelayan kafe.
Andai saja si kutu kupret itu satu keyakinan denganku, tentu saja jika dia melamar ku akan langsung ku terima pinangannya tanpa harus berpikir panjang. Terlebih ketika aku mengetahui jika dia memiliki perasaan yang sama denganku.
Ya Allah, kenapa jadi serumit ini?
"Bagaimana Rin, apakah kamu yakin? Jika yakin, nanti malam Fahmi akan datang ke rumah untuk berta'aruf dengan kamu."
Aku menelan salivaku susah payah. Seolah untuk mengatakan kata tidak mulutku tak cukup mampu. Tiba-tiba aku teringat akan wajah sendu bapak ketika sadar dari komanya waktu itu. Dan juga teringat akan petuah beliau untuk yang terakhir kalinya.
Tanpa sadar setetes air mata meluncur bebas dari mataku. Dengan sigap aku mengusapnya dan mengangkat kepalaku untuk menatap wajah mas Iqbal yang terlihat sedang menunggu ucapanku.
"Bagaimana, kamu yakin, kan?"
Bismillahirrahmanirrahim... Ya Allah, semoga ini jalan takdirku yang terbaik.
Aku pun mengangguk. "Insyaallah."
•••
Pukul delapan malam. Fahmi beserta kakak laki-lakinya datang ke rumah untuk berta'aruf denganku. Prosesi ta'aruf ini hanya dihadirkan oleh mas Iqbal dan juga kakaknya Fahmi. Sengaja tidak mengundang banyak orang, karena ini baru prosesi ta'aruf yang hanya sebatas mengenal satu sama lain.
Kami berempat duduk di ruang tamu. Aku duduk disamping mas Iqbal, dan Fahmi duduk disamping kakaknya. Meskipun kami duduk berhadapan, tetapi sedari tadi Fahmi selalu menundukkan kepalanya, tidak berani untuk menatapku.
Aku dapat memakluminya. Mungkin Fahmi tidak ingin berzina mata, atau bisa jadi dirinya berusaha untuk menjaga dari sesuatu yang belum halal untuk ia pandang.
"Jadi, apakah ada yang ingin ditanyakan dari kalian kepada masing-masing pihak?"
Aku termangu. Sejujurnya banyak sekali rentetan pertanyaan yang ingin aku utarakan. Dari mulai apa alasannya Fahmi mau berta'aruf denganku, penghasilan dia perbulan, hingga apakah dia sanggup mencukupi seluruh kebutuhanku.
Namun agaknya mulutku terlalu kaku untuk menanyakannya. Yang bisa kutanyakan adalah, "Apakah kamu memiliki visi yang sama terhadap saya yaitu mengharap ridhonya Allah setelah pernikahan nanti?" Entahlah, hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Dia tampak terdiam dan tentunya masih menundukkan kepalanya. Aku sedikit penasaran akan jawaban yang akan ia lontarkan.
"Bismillah... Insyaallah, saya juga akan membimbing kamu menuju surganya Allah kelak."
Jujur itu merupakan jawaban yang romantis yang jauh diluar ekspektasiku. Namun lagi-lagi, hatiku belum terpaut padanya. Dan, yah, sosok Putra masih saja menghantui pikiranku.
Tapi ketika mengingat akan kebohongan yang dia lakukan terhadapku, rasa benci pun hadir dalam benak ini. Apa mungkin ini yang dinamakan benci tapi mencintainya?
Ah, mana mungkin. Sudah-sudah, lagian, ngapain juga aku mikirin manusia yang nyebelin bin ngeselin itu. Lagi pula, mungkin bisa jadi sekarang dia sedang mesra-mesraan bersama Tasya.
Please Airin, lupakan Putra! Harus! Kudu! Wajib! Fardu ain!
"Ada lagi yang ingin ditanyakan, Rin?" tanya mas Iqbal menoleh kearah ku.
Aku pun mengangguk. "Dan, apakah kamu bersedia untuk memenuhi seluruh kebutuhan lahir dan batin saya?"
Masih sambil menunduk, Fahmi pun menjawab, "Insyaallah, akan saya cukupi semua keinginan kamu. Karena bagi saya, membuat istri bahagia adalah kunci utama kebahagiaan dalam rumah tangga."
Aku termangu. Sepersekian detik mataku tak beralih menatap sosok kaum Adam yang berada di hadapanku masih dengan posisi yang menunduk. Tanpa sadar segurat senyuman hadir di bibirku. Ingat ya, aku nggak suka sama si Fahmi, tetapi aku kagum akan jawabannya. MasyaAllah...
"Untuk Fahmi, apakah ada yang ingin ditanyakan lagi?" tanya mas Iqbal.
Dia menggeleng. Tetapi beberapa detik kemudian dia pun berkata, "Semoga kamu adalah jawaban yang terbaik diantara yang baik."
"Aamiin... Insyaallah." kata mas Iqbal sambil mengusap kepalaku.
-Imam untuk Airin-
1. Perasaan kalian setelah membaca part ini apa?
2. Lanjut bab 19? Yay or Nay?
3. Menurut kalian, sosok Putra dan Airin seperti apa? Pliss dijawab ya!!!
Stay healty, stay safe ya guys. Jangan lupa jaga kesehatan, pakai masker, dan juga selalu rajin cuci tangan.
Salam via aja deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Untuk Airin ✓
Spiritual(FOLLOW AKU DULU YA!!!) Airin Haliya Nafisah tak menyangka jika takdir akan mempermainkan alur kehidupannya. Misteri waktu pun perlahan mulai terkuak dengan kenyataan yang sebelumnya tak disangka-sangka. Harus selalu bersama dengan Putra, laki-laki...