Bismillahirrahmanirrahim, semoga suka dengan part ini. Jangan lupa vote dan juga komen ya, terima kasih❤️
----
Hal yang paling menyakitkan bagi seorang anak adalah ketika harus berpisah dengan orang tuanya untuk selama-lamanya.
-Imam untuk Airin-
----
"Bapak udah sadar, Rin."
Ketika mendengar kabar dari Mas Iqbal, buru-buru aku menuju rumah sakit. Akhirnya, rasa rinduku bisa terpecahkan dengan sadarnya bapak dari tidur panjangnya.
Meskipun tadi aku sedang mengajarkan Putra les privat, secara sepihak aku menghentikan les itu. Bodo amat, aku tidak peduli dengan Putra, yang kupedulikan saat ini adalah kesadarannya bapak.
Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah yang cepat. Seperti tidak ingin membuang-buang waktuku untuk segera bertemu dengan bapak.
Sesampainya di ruang inap bernomor 134, aku masuk dan melihat bapak tersenyum lebar menyambut kedatanganku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghambur kearahnya dan memeluk tubuh ringkihnya.
"Alhamdulillah, bapak. Airin kangen sama bapak."
Bapak mengelus kepalaku kemudian mencium keningku. "Bapak juga kangen sama kamu, Rin. Kamu udah salat?"
Ya, itulah bapak. Meskipun dalam keadaan terbaring leman, namun bapak tidak bosan-bosannya untuk selalu mengingatkanku untuk selalu tepat waktu dalam menjalankan salat lima waktu.
Aku tersenyum. Merasa sangat beruntung bisa dididik dan dibina oleh beliau.
"Alhamdulillah, Pak, tadi sebelum ke rumah sakit, Airin salat dulu."
Bapak tersenyum membalas ucapanku. "Sudah makan?"
"Alhamdulillah, udah pak."
Bapak kembali tersenyum. Kini senyumannya perlahan mulai merekah. Lalu tangannya yang terpasang infus mengusap pipiku, dan tangan satunya lagi mengusap punggung tanganku.
Aku pun ikut tersenyum. Usapan tangannya begitu lembut. Rasanya aku tidak ingin lekas pergi dan ingin tetap disini, bersama bapak.
"Loh, kamu udah datang, Rin?" suara mas Iqbal terdengar dari ambang pintu. Aku dan bapak kompak menoleh kepada mas Iqbal.
"Kesini naik apa tadi?" tanya mas Iqbal saat menghampiri kami.
"Motor."
"Sendiri?"
"Iya lah, kan belum ada boncengan halalnya." gurauku.
"Makanya nikah."
Aku menahan diriku agar tidak tertawa dihadapan mas Iqbal. "Emang yang ngomong udah nikah?" ledekku.
Mas Iqbal terlihat mengerucutkan bibirnya. "Kalo bagi laki-laki, menikah itu bukan perkara yang harus diburu-buru, karena masih banyak tanggung jawab yang harus dituntaskan dulu. Berbeda halnya dengan perempuan, perempuan kan mahluk yang harus amat jaga, jadi sebaiknya menikah, agar dia bisa dijaga sepenuhnya oleh suaminya."
Aku tertegun. Tumbennya mas Iqbal bisa berkata seperti ini.
"Yang dikatakan mas kamu benar Rin," sahut bapak seketika.
Aku menoleh kearah bapak secara cepat, menatapnya dan bersiap ingin mendengar kelanjutan dari ucapannya.
"Bapak udah tua, dan mas kamu nggak bisa sepenuhnya menjaga kamu selama dua puluh empat jam. Bapak ingin kamu segera menikah, Rin. Bapak ingin melihat kamu bahagia dengan laki-laki pilihan bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Untuk Airin ✓
Spiritual(FOLLOW AKU DULU YA!!!) Airin Haliya Nafisah tak menyangka jika takdir akan mempermainkan alur kehidupannya. Misteri waktu pun perlahan mulai terkuak dengan kenyataan yang sebelumnya tak disangka-sangka. Harus selalu bersama dengan Putra, laki-laki...