Bab 11 (Putra POV)

111 25 3
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, semoga suka dengan part ini. Jangan lupa vote dan juga komen ya, terima kasih❤️

----

Ternyata betul, ya, ketika orang yang kita sayang merasakan kesedihan, maka kita akan ikut merasakannya juga.

-Imam untuk Airin-

----

Ada perasaan sesak tersendiri ketika melihat gundukan tanah telah tertutup sepenuhnya oleh taburan bunga dan di atasnya telah ditancapkan sebuah nisan bertuliskan Ahmad Nurohman-Bapaknya Airin.

Terlebih ketika melihat Airin menangis tersedu-sedu melepas kepergian bapaknya.

Aku tau, ini tidak mudah bagi Airin. Ia harus kembali ikhlas dalam merelakan orang yang sangat berarti baginya untuk pergi selama-lamanya.

Perlahan orang-orang yang berada disekitar pemakaman mulai pergi dan hanya menyisakan Airin yang masih tersungkur sambil mengusap nisan bapaknya.

Hatiku terenyuh. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian disini, aku ingin menjadi teman untuknya menumpahkan perasaannya. Aku peduli terhadapnya.

"Rin," aku mendudukkan tubuhku tepat dihadapan Airin berada.

Airin mendongakkan kepalanya, namun tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.

"Pulang yuk, mas Lo udah nungguin di mobil."

Airin tidak menggubris ucapanku. Kini tatapannya kembali sepenuhnya menatap nisan bapaknya.

Aku menghela napas. Ternyata betul, ya, ketika orang yang kita sayang merasakan kesedihan, maka kita akan ikut merasakannya juga.

Aku menghela napas. Dan secara reflek tanganku ikut terulur untuk mengusap nisan itu. Airin menatap tanganku, dan dua detik kemudian pandangan kita saling bertautan. "Gue tau Rin, ini nggak mudah untuk Lo, ini berat untuk Lo. Tapi bukankah dengan cara ini, Tuhan menunjukkan kasih sayangnya agar bapak Lo nggak ngerasain lagi sakitnya dipasangin alat-alat medis? Sekarang, bapak Lo udah damai disana, dia pasti tersenyum bahagia karena udah nggak ngerasain sakit lagi."

"Ta-tapi... Gu-gue belum ikhlas, Tra." katanya, air matanya terus membahasi pipinya.

"Perkara ikhlas, pasti siapa pun akan sulit untuk melakukannya. Tapi bukankah semua yang ada di bumi ini hanyalah titipan?"

Airin termangu. Tapi aku dapat melihat gerakan kepalanya yang mengangguk samar.

"Ibaratkan gini nih, seorang tukang parkir kan dititipkan motor dan mobil yang hitungannya banyak, tapi ketika motor dan mobil itu pergi, apa tukang parkir itu mencegahnya untuk pergi? Tentu tidak kan? Nah, itu yang gue mau dari Lo, Lo harus bisa belajar dari tukang parkir, yaitu ikhlas. Karena tukang parkir tau, itu semua hanya titipan sang pemilik."

Air mata yang sebelumnya deras membasahi pelupuk matanya dan juga pipinya, kini perlahan mulai sirna.

"Rin, gue mau, kalo Lo ada apa-apa, atau butuh apapun, please hubungi gue. Gue mau Lo jadiin gue sebagai teman ternyaman Lo untuk berbagi keluh dan kesah. Ya... Meskipun terkadang gue suka buat Lo naik darah, tapi percaya deh, gue ini laki-laki normal yang masih punya sisi baiknya dan tentunya ganteng."

Waduh, kayaknya salah deh kalo aku muji diri aku ganteng di situasi seperti ini. Buktinya Airin malah memberikan tatapan tidak suka ketika aku menyebut diriku ganteng. Padahal kan, bunda saja sudah mengakuinya jika aku ini ganteng.

"Jokes Lo nggak lucu, deh, please." semburnya.

"Berusaha untuk buat orang lain bahagia apa salahnya Rin?" ucapku membela diri.

Imam Untuk Airin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang