Bab 14 (Airin POV)

119 24 7
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, semoga suka dengan part ini. Jangan lupa vote dan juga komen ya, terima kasih❤️

----

Terkadang dalam mencintai tak selamanya harus bahagia, terkadang harus merasakan sakitnya pula.

-Imam untuk Airin-

----

"Gimana?"

Aku menarik selimutku hingga menutupi tubuhku dengan sempurna. Pertemuan singkat ku dengannya tadi siang membuatku tak bisa lepas untuk tidak memikirkannya. Aku tidak menyangka jika teman mas Iqbal yang di dikenalkan kepadaku adalah calon suami yang selama ini mas Iqbal dan juga bapak maksud.

Oh Allah, aku tidak tau lagi harus berbuat apa. Kuakui jika dia tampan, sudah masuk standarisasi calon suami idamanku. Tapi tetap saja, aku tidak menemukan kecocokan dengannya. Menurutku dia itu kaku, nggak asik, dan nggak mau natap aku sama sekali. Hanya menunduk saja.

Berbeda halnya dengan si kutu kupret itu. Yang tingkahnya selalu saja yang membuatku harus mengelus dada sambil mengucapkan kalimat istigfar.

Aku tak menampik jika Putra memanglah tampan, tapi... Kalian tau, kan, perbedaan kami lah yang membentengi kami.

Eh, tunggu-tunggu, kenapa nyambung-nyambung ke si kutu kupret, sih?

"Nggak tau, mas." hanya tiga kata yang mampu ku ucapkan sekarang.

"Rin, kalo kamu setuju, mas akan melanjutkan ke jenjang ta'aruf."

Aku terperanjat. Rasanya jantungku berhenti berdetak seketika. Aku langsung mendudukkan tubuhku dan menatap mas Iqbal dengan tatapan bingung.

"Mas... Are you seriously?"

Mas Iqbal mengangguk. "Ini demi kebaikan kamu, Rin."

Aku berdecak. "Mas, jangan terburu-buru. Aku kan belum kenal sama dia." gerutu ku.

"Justru dengan cara ta'aruf, kamu bisa mengenalnya dengan cara yang baik."

Aku mendesah. Percuma saja mengelak dengan seribu alasan, mas Iqbal akan tetap keukeh pada kehendaknya. Jika sudah seperti ini tidak ada jawaban lain selain menjawab iya.

"Iya, terserah mas aja, deh." ucapku pasrah.

Mas Iqbal tersenyum lega dan matanya pun terpancar aura kebahagiaan.

Aku tidak tau kedepannya akan seperti apa. Apakah Fahmi ini adalah benar jodohku, atau kah kuasa illahi berkehendak lain. Semoga saja, Allah menentukan yang terbaik untukku.

-Imam untuk Airin-

Sejak kedatangan Putra lima belas menit yang lalu rasanya aku tidak tau harus memulai apa saat ini. Ingin mengajarkannya suatu materi, tetapi moodku sedang tidak baik, ditambah sejak tadi Putra hanya memainkan gawainya sambil tersenyum sendiri. Bukan sedang bermain Mobile legend, melainkan sedang chattingan dengan orang lain.

Aku menghela napas kasar. Sepertinya Putra lebih mementingkan pesan dari seseorang ketimbang aku yang sudah sejak tadi menunggunya di taman belakang kampus.

"Ehem." aku berdeham. Namun tetap saja fokusnya tetap mengarah ke arah layar ponselnya.

"Di kacangin, di lalerin." gumamku sambil memainkan ujung tali ranselku.

Lagi-lagi Putra tidak menggubris kehadiranku. Jarinya masih sibuk menari di permukaan ponselnya. Sumpah ya, ingin ku tabok muka ngeselinnya.

"Eh, udah ada lo?" ucapnya sambil mendongakkan kepalanya, menatapku sambil memperlihatkan deretan giginya yang terpagar oleh behel.

Imam Untuk Airin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang