Bab 17 (Airin POV)

132 22 4
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, semoga suka dengan part ini. Jangan lupa vote dan juga komen ya, terima kasih❤️

----

Aku tahu ini salah, terlambat menyadari perasaan yang semestinya tidak berlabuh pada hati yang salah. Menyesali kepingan rasa yang lambat laun kian bertumbuh besar.

-Imam untuk Airin-

----

Satu ruas jahe, satu buah gula merah, tiga ratus mililiter air, satu batang sereh, dan juga tiga centimeter kayu manis, merupakan resep turun temurun yang diwariskan oleh almarhumah Ibu.

Dulu semasa aku kecil ketika demam atau radang tenggorokan melanda, ibu dengan sigap membuatkanku secangkir wedang jahe, menyelimutiku, sampai membacakan ku lantunan ayat suci Al Quran.

Dan sepeninggal Ibu, peran beliau digantikan olehku saat bapak jatuh sakit. Kala itu, aku yang sigap mengurus serta membuatkan wedang jahe untuknya. Kata bapak, wedang jahe buatan ku dengan buatan ibu rasanya sama, enak dan juga pas.

Aku mencampur seluruh bahan dalam air yang mendidih. Mengaduk serta mencicipi apa yang sekiranya kurang dalam wedang jahe ini. Namun semuanya terasa pas saat aku telah mencicipnya. Semoga saja dengan segelas wedang jahe ini, membuat keadaan bundanya Putra lebih membaik.

"Perlu gue bantu?"

Suara seorang perempuan mendekat ke arahku. Aku sempat melihat sekilas kepadanya jika dia adalah perempuan yang ku jumpai di Itacho Sushi.

Dia terlihat cantik dan bahkan sangat cantik. Dengan balutan kaus merah yang dipadukan dengan celana panjang hitam membuat penampilannya bak seorang model di red karpet.

"Oh, udah mau jadi, ya?" katanya saat melihat air rebusan wedang jahe telah mendidih.

Aku tersenyum. "Alhamdulillah, sudah."

"Suka buat wedang jahe?" tanyanya.

Aku mengangguk samar sembari tersenyum. "Kadang-kadang."

"Dapet resep dari mana? Kok, gue kalo buat wedang jahe selalu gagal, ya?"

"Resep dari almarhumah Ibu."

Dia tampak menganggukkan kepalanya. "Oh ya, nama Lo siapa?" dia mengulurkan tangannya dihadapanku. "Nama gue Tasya." katanya.

Aku meraih tangannya. "Airin." jawabku.

"Oh, jadi Lo yang namanya Airin?"

Aku hanya mengangguk membenarkan.

"Putra sering cerita tentang Lo."

"Oh ya?" tanyaku tidak percaya.

Dia terlihat mengangguk. "Banyak hal yang Putra ceritain tentang Lo ketika lagi jalan sama gue. Entah itu tentang kepintaran Lo, kebaikan Lo, dan bahkan kebawelan Lo, semua Putra ceritain."

Aku sedikit tersenyum. Entah mengapa saat mengetahui diam-diam namaku menjadi topik pembicaraan si kutu kupret itu dengan Tasya hatiku merasa senang.

"Kadang gue ngerasa iri sama Lo."

Aku menautkan kedua alisku. Aku bingung dengan apa yang diucapkan oleh Tasya. Pasalnya, aku dengannya baru pertama kali mengobrol akrab seperti ini, mengapa tiba-tiba dia merasa bahwa dia iri terhadapku?

"Loh, kenapa? Apa yang perlu diiriin dari gue?" tanyaku bingung.

Dia terlihat seperti menghela napasnya. "Gue yang sebagai pacarnya aja jarang dan bahkan nggak pernah diperlakukan seistimewa kayak Lo."

Imam Untuk Airin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang