15

463 68 6
                                    

Apakah perasaan ini akan merusak persahabatan yang selama ini kita jalani? -Angkara

"Mau ke mana, Ra?" tanya Asaka melihat Angkara beranjak dari bangkunya.

"Mau ke toilet. kebelet," jawab Angkara lalu berlari keluar dari kelas.

Di karenakan jamkos, semua murid malah asik bermain dan bukannya belajar. Suasana kelas cukup ricuh, apalagi di tambah suara Ryan yang tengah bernyanyi sambil berdiri di atas mejanya.

"Asaka!"

"Kenapa, Jeng?" tanya Asaka ketika Ajeng sudah duduk di sampingnya.

"Soal papa aku yang sakit, sebenarnya papa aku nggak sakit."

"Maksud kamu?"

"Ada sesuatu yang mau aku omongin ke kamu. Nanti malam kamu bisa nggak dateng ke caffe dekat taman?"

"Oh yaudah nanti kita ketemuan di sana."

Jawaban Asaka membuat Ajeng tersenyum.

"Tapi kamu udah sembuhan, kan?"

"Iya udah lumayan, bersin-bersinnya juga udah berkurang."

"Aku mau duduk," kata Angkara yang baru datang.

"Cepet amat, Ra," ujar Asaka.

"Kenapa? Kamu mau aku lama biar kamu bisa lebih lama berduaan sama Ajeng?" sewot Angkara.

"Kalo iya kenapa?" canda Asaka yang di anggap serius oleh Angkara.

"Oh ya udah." Angkara pergi sembari menghentakan kakinya. Ia memilih untuk gabung bersama tim gosip.

"Kalo Angkara gabung sama kita pasti dia lagi berantem sama Asaka," tebak Rere.

"Ayo lanjutin gosipnya," pinta Angkara.

Angkara melihat ke arah bangkunya, pemandangannya  membuat emosinya semakin jadi. Di sana Asaka tengah bercanda gurau dengan Ajeng. biasanya jika Angkara pergi seperti tadi pasti Asaka akan membujuknya untuk tetap tinggal dan meminta maaf padanya. Namun, kali ini tidak, Asaka seperti bukan Asaka yang Angkara kenal.

Bunyi bel pulang sekolah berbunyi, semua murid semakin heboh lalu buru-buru untuk pulang termasuk Angkara yang buru-buru mengambil tasnya.

"Buru-buru amat, Ra," kata Asaka.

Angkara hanya diam, tidak ada niat untuk menjawab ucapan Asaka. Angkara langsung keluar begitu saja tanpa menghiraukan panggilan Asaka yang memanggil namanya.

"Kara tunggu!" Asaka mencekal tangan Angkara di tengah koridor.

"Kamu kenapa sih?"

"Aku nggak apa-apa!" Angkara menghempaskan cekalan Asaka dari tangannya.

"Kara, kamu mimisan lagi!?" panik Asaka yang melihat darah mengalir dari hidung Angkara.

Angkara menghapusnya kasar. "Nggak apa-apa, udah biasa."

Asaka hanya diam di tempat, melihat Angkara yang semakin jauh berjalan meninggalkannya. Akhir-akhir ini sikap Angkara sangat sensitif, mudah sekali berubah bahkan dalam satu waktu.

"Ryan!" panggil Angkara ketika melihat Ryan di tempat parkir.

Angkara berlari menghampiri Ryan dan langsung naik ke atas motornya.

"Eh, ada apa nih?" bingung Ryan.

"Udah jalan aja."

Ryan tak banyak bicara, ia memilih untuk menuruti Angkara.

"Kita mau ke mana, Ra?" tanya Ryan dengan nada tinggi supaya Angkara mendengarnya karena sekarang mereka tengah berada di atas motor yang berjalan.

"Berhenti di sana!" tunjuk Angkara ke arah warung pinggir jalan.

"Lo mau makan, Ra?"

Bukannya menjawab, Angkara malah turun dari motor dan berlalu mencari meja kosong.

"Pak!" Angkara mengangkat sebelah tangannya. "Saya pesan teh manis nya dua ya." pesan Angkara ketika sang penjual menghampirinya.

"Di tunggu ya, Neng."

"Iya Pak."

"Niat lo bawa gue ke sini ngapain sih, Ra?"

"Rasanya sekarang aku ingin nangis aja, Yan."

"Lah kenapa?"

"Kayaknya aku beneran punya perasaan lebih dari sekedar sahabat pada Saka."

"Tuhkan, semua ini udah gue duga sebelumnya. Karena, nggak ada persahabatan cewek sama cowok Ra, pasti di antara keduanya ada yang menyimpan rasa lebih. Kayak lo sekarang ini."

"Terus aku harus gimana sekarang, Yan?" Angkara menjambak rambutnya frustasi.

"Ya lo jujur aja. reaksi Asaka, gimana nanti aja."

"Angkara rambut lo rontok banyak banget!" kaget Ryan melihat banyak rambut pada tangan Angkara.

"Nggak tau nih, apa aku salah pake sampo, ya?"

"Rambut lo butuh perawatan kali. Makanya sesekali pergi ke salon. urusin tuh rambut lo jangan ngurursin Asaka mulu."

"Mana bisa Yan, Saka udah bagian dari hidup aku."

"Tapi Ra, kayaknya Asaka punya perasaan ke Ajeng deh. Liat aja sikapnya ke Ajeng gimana."

"Aku tau, dia flu sekarang juga gara-gara kehujanan nungguin Ajeng di taman kemarin."

"Sampe segitunya?"

"Iya. dia bilang, dia nggak mau kalo Ajeng datang terus dianya nggak ada. Jadi dia bela-belain kehujanan demi Ajeng."

Penjual es datang dengan membawa dua gelas teh manis.

"Makasih, Pak," ucap Ryan lalu sang penjual langsung pergi kembali.

Angkara menghela napas berat sebelum berkata. "Kalo aku bilang yang sebenarnya ke Saka, dia bakal marah nggak, ya?"

"Kenapa harus marah, kan perasaan orang nggak bisa di atur. Lagian cinta itu udah biasa tumbuh dalam persahabatan kayak lo sama Asaka gini, Ra. Jadi, nggak aneh lagi kalo di antara kalian ada yang baper."

Tiba-tiba ponsel Angkara berbunyi menandakan ada panggilan masuk.

"Panjang umur yang lagi di omongin," kata Angkara melihat nama Asaka yang terpampang di layar ponselnya.

"Dia pasti nyariin lo."

"Angkat jangan?"

Ryan mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban 'terserah'.

"Diemin aja lah, biar dia tau nyariin orang tuh susahnya kayak gimana."

"Tapi kalo orangtua lo ikut nyariin gimana, Ra?"

Perkataan Ryan ada benarnya, mungkin Asaka menelpon dirinya karena dia habis dari rumahnya.

"Kenapa?" tanya Angkara to the point.

"Kamu di mana, Ra? Aku ke rumah kamu tapi tante bilang kamu belum pulang."

"Aku lagi ada urusan."

"Urusan apa? Kamu lagi di mana sekarang biar aku jemput."

"Urusan hati!"

Angkara langsung mematikan sambungannya secara sepihak.

"Jahat banget lo Ra, main matiin aja," kekeh Ryan.

"Jahatan juga Saka."



###

TBC.

Tinggalkan jejak 🌟🗨💚

ASAKA ANGKARA (TAMAT)✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang