31

673 32 2
                                    

Kata maaf saja mungkin tidak dapat menebus semuanya, hingga luka di dalam hatinya.  -Asaka



"Mah," panggil Angkara dengan lemah.

"Iya sayang kenapa? Kamu butuh sesuatu?"

"Aku mau ketemu Saka."

"Sakanya lagi nggak di sini Sayang."

"Dia ke mana?"

"Mama kurang tau. Tapi nanti juga Saka ke sini. Oh iya di luar ada temen kamu, Ryan namanya."

"Kara mau ketemu Ryan, Mah."

"Ya udah, Mama panggilin dulu ya?" ujar sang Mama yang di angguki Angkara.

Tak lama Ryan masuk, bergantian dengan mamanya. Karena hanya satu orang saja yang di perbolehkan masuk ke dalam ruangan Angkara.

"Hai," sapa Angkara ketika melihat Ryan masuk.

Ingin rasanya Ryan menangis ketika dirinya melihat Angkara dengan kondisi seperti ini. Angkara yang biasa ia lihat adalah Angkara yang penuh keceriaan namun, sekarang malah sebaliknya.

"Cengeng!" ledek Angkara melihat Ryan meneteskan air mata.

"Gimana keadaan lo, Ra?"

"Aku baik-baik aja."

"Gue nggak nyangka bakal liat lo dengan kondisi seperti ini."

Angkara terus tersenyum untuk meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Oh iya Ra. Gue ke sini sekalian mau bilang, kalo gue udah ngasih bukti ke Asaka soal kebohongan Ajeng. Jadi lo jangan mikirin itu lagi ya, semuanya udah beres."

"Makasih Yan. Kalo nggak ada kamu aku bingung harus minta bantuan ke siapa lagi. Makasih juga selama ini udah mau jadi teman curhatku."

"Sama-sama, Ra."

"Yan, aku boleh minta bantuan kamu untuk yang terakhir kalinya?"

"Kenapa ngomong gitu, lo bebas minta bantuan sama gue kapan aja, Ra."

"Aku mau ketemu Saka. Tapi sekarang dia nggak ada di sini. Kamu bisakan cariin dia buat aku?"

"Iya Ra, nanti gue cari Asaka dan minta dia buat ketemu lo."

Setelah kepergian Ryan 2 jam lalu. Kini Angkara di temani Anggara.

"Mas Gara, kenapa ngusir Saka?"

"Mas ngelakuin itu demi kebaikanmu juga, Ra."

"Kara butuh Saka sekarang. Cuma Saka yang bisa ngobatin rasa sakit Kara sekarang."

Uhuk.

Melihat darah yang keluar dari mulut Angkara membuat Anggara semakin panik.

"Biar Mas panggil Dokter dulu ya."

"Nggak!" Angkara mencegah Anggara yang akan pergi lalu menghapus darahnya cepat dengan tangannya. "Aku mau Saka," lanjutnya.

Tak lama, Ryan muncul di balik kaca ruangan dan memberikan kode bahwa ia berhasil menelpon Asaka dan menyuruhnya ke rumah sakit.

"Kara, kamu mau kemana?" Anggara makin dibuat panik ketika Angkara akan beranjak dari bangsal.

"Kara mau keluar."

"Nggak. Mas nggak akan biarin kamu ke mana-mana. Kamu masih lemah, Ra."

"Aku kuat." Angkara tersenyum meyakinkan pada Anggara.

"Mas, bisakan bantu Kara berdiri?"

Anggara tidak tega jika menolak keinginan Angkara sekarang. Dari dulu ia memang sudah terbiasa menuruti apa yang adiknya inginkan.

Anggara memapah Angkara dengan tangan kirinya yang membawa tiang infus.

Soal Dokter atau orang tuanya yang akan marah, Anggara akan menanganinya nanti.

Dan benar saja, ketika Anggara berhasil membawa Angkara keluar ruangan, dirinya langsung mendapat omelan papa dan mamanya.

"Kamu kenapa bawa Kara keluar Gara, dia masih lemah!"

"Kara masih belum boleh kemana-mana, Gara!"

"Mah, pah. Jangan marahin Mas Gara, Kara yang maksa Mas Gara buat bawa Kara keluar."

"Tapi kenapa sayang?"

"Kara bosen."

"Apa yang kamu butuhin biar kamu nggak bosen, bilang sama Papa?"

"Saka." ternyata itu bukan jawaban melainkan panggilan Angkara ketika dirinya melihat Asaka datang dan tengah berjalan ke arahnya. Asaka langsung berlari ketika dirinya melihat Angkara.

Angkara menangis haru begitupun dengan Asaka. Asaka yang langsung memeluk Angkara, membuat Angkara semakin menangis.

"Maaf."

Kata itu yang pertama keluar dari mulut Asaka.

"Maafin aku, Ra."

Angkara hanya mengangguk. Ia benar-benar merindukan Asakanya, hingga mulut tidak mampu mengungkapkannya.

Pelukan keduanya cukup lama. Rasa rindu dalam diri kedunya, mereka salurkan lewat pelukan.

Angkara menatap lekat mata Asaka. Menelusuri dengan inci wajah Asaka. Begitupun dengan Asaka, kedua tangannya ia gunakan dengan mencakup wajah pucat Angkara. Keduanya hanya saling tatap tanpa kata. Bertemu saja sudah mewakilkan semua perasaannya.

Beberapa kali, Angkara berusaha menahan rasa sakitnya. Ia tidak akan melewatkan kesempatan bersama Asaka sekarang. Ia ingin menghabiskan sisa waktunya bersama Asaka.

"Kara, kamu harus masuk lagi," pinta sang Papa yang melihat wajah putrinya semakin memucat.

"Pah, ijinin Saka bawa Kara ke taman, ya?"

"Ka__"

"Kara bosan. Kara butuh angin segar."

"Tapi Papa belum minta ijin sama dokternya."

"Dokter mengijinkan," jawab seorang Dokter yang baru datang. "jika ini kemauan pasien tidak apa-apa, siapa tau kondisi pasien akan lebih baik."

"Kara kamu yakin?" tanya Anggara yang melihat Angkara akan pergi bersama Asaka.

Angkara hanya mengangguk sebagai jawabannya.

"Tante titip Kara ya, Ka."

"Iya tante."




###

Tbc.

Detik-detik menuju END:)
Vote  🌟dan komentarnya 🗨.

Gimana menurut kalian tentang ceritaku ini ?
Suka apa tidak?

Pesan buat ASAKA dan ANGKARA?






ASAKA ANGKARA (TAMAT)✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang