20

483 46 17
                                    

Air mata adalah cara hati berbicara saat bibir tak sanggup mengungkapkan apa yang sedang terjadi.

Waktu sudah sore, Angkara baru saja sampai di rumahnya.

"Kamu jangan khawatir, Papa sama Mama akan mencarikan dokter terbaik buat kamu," ucap sang Papa.

"Ayo sekarang kamu istirahat," lanjutnya.

"Ayo Mama anterin."

Angkara masih belum menerima dengan kondisinya sekarang. Ia masih ingin hidup lebih lama, masih banyak yang ingin ia lakukan terutama bersama Asaka, sahabatnya.

Tak lama ia membaringkan tubuhnya, Angkara bangun kembali. Sekarang, ia sangat membutuhkan dukungan dari Asaka. Ia akan mengatakan penyakitnya padanya sekarang.

"Kara kamu mau kemana? Papa nyuruh kamu buat istirahat," tanya sang Papa ketika melihat Angkara turun dari kamarnya.

"Mau ke rumah Saka bentar, Pah."

"Papa nggak ijinin!"

"Pah, jangan cuma karena Papa tau kondisi aku yang sekarang, Papa jadi ngelarang aku kayak gini dong," mohon Angkara." Kara minta sama Papa buat berlaku seperti biasanya."

Angkara keluar begitu saja. Sebenarnya dirinya sangat sedih dengan semua ini. Di mana dirinya harus menerima kenyataaan soal penyakit yang menimpanya. Ia sangat khawatir pada dirinya sendiri.
Namun ia berusaha menutupi supaya keluarganya tidak terlalu mengkhawatirkannya. Angkara sedih tapi ia akan lebih sedih jika keluarganya juga sedih.

Angkara berjalan lunglai menuju rumah Asaka yang ada di seberang jalan. Hampir saja ia akan terserempet motor yang melintas tadi, tapi untunglah ia masih dapat menghindarinya.

Pintu rumah Asaka terbuka.

"Bunda," panggil Angkara sembari memasuki rumah Asaka.

Suasana rumah Asaka sepi. Angkara juga tidak menemukan Bunda yang biasanya jam segini ada di dapur.

"Kayaknya bunda lagi nggak ada di rumah," gumam Angkara sembari mencari seseorang penghuni rumah.

Tak sengaja matanya melihat pintu halaman belakang terbuka. Rumah Asaka memang mempunyai halaman yang cukup luas, bahkan ada kolam berenang juga di sana. Angkara dan Asaka juga sering mengahabiskan waktu di sana sejak mereka kecil.

Angkara berjalan pelan menuju pintu halaman tersebut, ia harus waspada. Bisa jadi ada orang lain yang diam-diam masuk ke rumah Asaka.

Degh!

Jantung Angkara seperti berhenti sejenak, ketika dirinya sudah berdiri di ambang pintu halaman rumah Asaka.

Seperti terjatuh lalu terinjak, begitulah hati Angkara sekarang. Setelah dokter mengatakan penyakit yang di deritanya, kini ia melihat laki-laki yang disukainya berciuman dengan perempuan lain. Sakit hatinya bertambah dua kali lipat.

Niatnya ingin berbagi duka dengan Asaka kini malah sebaliknya. Asaka yang telah menambah dukanya.

Keduanya masih duduk di kursi yang selalu menjadi tempat belajar Angkara dan Asaka. Seperti dunia milik berdua, mereka tidak menyadari kehadiran Angkara di sekitarnya.

Angkara masih membeku di tempat, kedua kakinya terasa sulit terangkat bahkan hanya untuk selangkah saja.

Hatinya menangis tetapi tidak dengan raganya. Dalam hal menyembunyikan, Angkara lah jagonya.

Hingga Asaka menyadari keberadaannya ketika dirinya dan Ajeng menyudahi ciumannya itu.

"Kara?"

Asaka berjalan menghampiri Angkara yang hanya diam di ambang pintu.

"Kara ini se__"

"Nggak apa-apa. Kamu udah besar Ka. Kamu udah bisa milih perempuan buat diri kamu sendiri," lirih Angkara berusaha menahan tangisannya.

"Aku khilaf, Ra," sesal Asaka. "jangan bilang ke bunda ya soal ini,"pinta Asaka yang mendapat anggukan pelan dari Angkara.

"Aku pulang," pamit Angkara lalu berlari pergi. Angkara sudah tidak bisa menahan tangisannya lagi.

Hatinya benar-benar hancur sekarang. Kenapa ia harus melihat dan merasakan semua ini. Kenapa laki-laki sekaligus sahabat yang di sukainya melakukan hal yang menyakiti hatinya seperti ini.

Angkara tidak menjawab pertanyaan keluarganya yang melihat dirinya masuk rumah dengan menangis. Angkara memilih untuk mengurung diri di kamar. Ia butuh waktu untuk Menerima semuanya. Untuk cinta sepihaknya maupun penyakitnya.

Di dalam kamar yang sunyi, suara tangisan Angkara semakin terdengar pilu. Angkara meremas dadanya sakit, perasaannya pada Asaka seperti kesalahan terbesar baginya.

"Harusnya tidak begini hiks...."

"Kara, buka pintunya," pinta sang Papa di sebrang pintu.

"Kara ayo buka pintunya Sayang. Kamu kenapa? bilang sama Mama."

"Buka pintunya Kara atau nggak Mas bakal dobrak!" Anggara semakin khawatir dengan kondisi Angkara.

"K-Kara nggak apa-apa."

"Papa nggak ngajarin kamu bohong Kara, ayo buka pintunya."

"Bilang sama Mama kamu kenapa Sayang hiks...." sang Mama ikut menangis, itu yang Angkara tangkap dari nada bicaranya.

"Kara nggak apa-apa, Pa. Kalian nggak usah khawatir."

"Kara lagi mau sendiri jadi tolong jangan ganggu Kara."

Demi kebaikan Angkara, semuanya tidak lagi memaksa Angkara untuk membuka pintunya.

"Mungkin Kara masih sedih dengan penyakit yang di deritanya," ujar Anggara.

"Ya udah kasih dia waktu," final sang Papa lalu membawa turun istrinya yang masih menangis.

"Panggil Mas Gara kalo kamu butuh sandaran," pesan Anggara kepada Angkara sebelum turun ke lantai bawah.

Tangisan Angkara kembali pecah mendengar ucapan Anggara padanya tadi. Setidaknya, disaat terjatuh seperti ini masih ada keluarganya yang selalu mendukungnya.

Aku ingin berbagi duka, bukan menambah luka.  -Angkara









###

Gimana? Sedih gak?
Bayangin aja kalian ada di posisinya angkara 😢

Btw, Malam ini up dua part sekaligus 🙃

Vote🌟 dan komentarnya🗨 jangan lupa  ya💚biar makin  semangat nulisnya ☺💪

ASAKA ANGKARA (TAMAT)✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang