Part 5. Daseot

99 14 37
                                    

Part 5. Daseot
By: Puspa Kirana

Pagiiii 🌻🌻🌻.

Akhirnya Dey berkunjung lagi ke sini. Dia semangat banget lho mau lanjutkan cerita.

Jadi, kita juga yuk! Semangat baca ceritanya! Cuss deh! 😍

👭🌺👭🌺👭

Aku menarik napas dalam dan memasang senyum sebelum membuka pintu salon. Bukan hal yang berat karena sudah tiga tahun aku biasa melakukannya, bahkan setelah melewati hari yang luar biasa hectic seperti hari ini.

Di kantor, Bu Listya sedang badmood seharian. Ada kesalahan laporan dari Tania dan Diatri yang tidak terpantau olehnya, sehingga kemarin di rapat akhir bulan dengan para pimpinan lain ia dipermalukan. Sangat tidak biasa karena atasanku itu memiliki mata elang saat memeriksa laporan. Bisa jadi ia sedang punya masalah cukup mengganggu entah urusan kantor atau pribadi sehingga itu terjadi.

Aku nyaris meradang karena ikut diomeli habis-habisan padahal tak ada yang salah dengan laporanku. Dada sesak mendengar kata-kata sinis dan nyaris kasar dari mulutnya. Yang tidak kumengerti, mata tajamnya lebih sering menatapku dibandingkan kedua teman seruangan yang punya kesalahan.

Memang, aku dianggap sedikit lebih senior dari mereka karena lebih dulu bergabung di Pro-Life. Bu Listya sering memanggilku sendirian ke ruangannya untuk mendiskusikan permasalahan kantor.

Namun, setelah hampir tiga tahun bekerja sebagai staf Bu Listya semestinya kemampuan mereka sudah setaraf denganku. Lagi pula pekerjaan mereka bukan tanggung jawabku karena aku bukan atasan mereka.

Sayangnya, saat itu aku hanya bisa menahan diri dengan kepala dan dada hampir meledak. Tidak berani mengucap sepatah kata pun untuk membela diri. Bu Listya masih memegang kartu truf keberadaanku di kantor itu.

Lagu-lagu Stray Kids yang kudengar melalui head set setelah keluar dari ruangan atasanku itu sempat menurunkan kekesalan. Namun, tugas mendadak membuat desain pamflet dan spanduk seminar yang kuterima dari Pak Ardi tepat setengah jam sebelum jam kantor berakhir mengembalikan kekesalan tersebut. Waktu pulangku jadi mundur satu jam dari yang direncanakan. Itu pun hanya sempat menyelesaikan desain pamflet saja. Kalau saja Pak Ardi tidak meneleponku lagi dan mengatakan desain itu boleh dikirimkan besok pagi, mungkin saat ini aku masih berdesak-desakan menunggu commuter line datang.

Sayangnya hal itu tidak mengembalikan waktu sejamku yang sebenarnya sangat penting. Aku sudah janjian bertemu dengan partner AD, pemasok utama produk perawatan rambut dan tubuh untuk menegosiasikan harga yang mulai naik bulan depan.

Terpaksa aku minta penjadwalan ulang dan berharap sang partner tidak mutung sehingga negosisasi harga berjalan sesuai harapan. Aku bersyukur memiliki Hara yang dengan setia bersedia menungguku. Hara juga yang menjadi pereda kekesalan saat mengantarkanku ke stasiun dari kantor.

"Malam, Nissa!" kataku pada salah seorang resepsionis AD yang sedang betugas setelah menyapa beberapa pelanggan yang sedang menunggu giliran.

Tempat duduk di ruang tunggu yang tidak terlalu besar ini terlihat penuh membuat hati sedikit terhibur. Bahkan di malam hari kerja pun mereka datang berbondong-bondong ke sini. Sebagian besar pelanggan kami sudah melakukan reservasi dan sering kali resepsionis terpaksa menolak pelanggan yang langsung datang karena tidak cukup waktu untuk melayaninya.

"Eh, malam Mbak Dey!" Nissa tersenyum. Ia berdiri dan menggeserkan badan. "Mbak Dey, mau sekalian cek pelanggan hari ini?"

Aku mengangguk sambil lebih mendekat kepada komputer di meja resepsionis. Walaupun itu tugas Kak Fey, tetapi hampir setiap kali datang aku selalu melakukannya. Membaca jumlah pelanggan dan nama-nama mereka bisa mengurangi kelelahan. Hal yang kubutuhkan saat ini.

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang