Part 16. Yeol Yeoseot

43 11 22
                                    

Part 16. Yeol Yeoseot
By Puspa Kirana

Haiii 🌺🌺🌺!

Dey jadi datang, nih untuk update kedua! Yeayyy! 😍

Yuk, kita sambut dengan langsung baca ceritanya.

Hmm ... Dey jadi indekos enggak, yaaa? 😄

👭🌺👭🌺👭

Rahangku terasa kaku dan tangan ini mengepal saat aku keluar ruangan Bu Listya. Rasanya pendingin ruangan tidak berfungsi. Dada sesak dan kepala serasa berasap. Aku tak akan lupa kata-kata Bu Listya yang seolah silet menggores hati selama berada di ruangannya barusan.

"Saya dengar kamu mau pindah ke DPP jadi timnya Ardi, benar ya?" Suara Bu Listya sudah ketus di awal percakapan. Wajahnya kaku dan tatapannya tajam.

"Rencananya begitu, Bu." Aku merasa tak ada alasan untuk berbohong. Cepat atau lambat Bu Listya akan tahu.

"Kenapa pindah? Kamu enggak betah di sini? Atau enggak suka sama saya?" Selain tajam, tatapan itu sekarang terlihat menyelidik.

"Saya pikir Pak Ardi lebih membutuhkan tenaga saya, Bu. Dua orang timnya resign."

"Kamu pikir di sini enggak perlu banyak tenaga? Kamu lihat kan, setiap hari semua orang sibuk dengan tugas masing-masing bahkan beberapa DL enggak bisa tercapai!"

Sudah lebih dari seminggu saya lebih santai, Bu. Bisa pulang tepat waktu tiap hari. Ingin kukatakan itu. Namun, aku memilih diam. Tak ingin kemarahan Bu Listya makin menjadi. Sejak Tania menjadi "anak kesayangannya", aku hanya melakukan tugas rutin. Itu pun rasanya berkurang. Lima laporan yang biasanya harus kusubmit setiap minggu, sekarang tinggal tiga. Baru tahu kemarin satu dialihkan kepada Tania dan satu lagi ke Diatri. Dada mulai bergolak.

"Orang seperti kamu enggak akan maju-maju! Sudah diberi kesempatan dapat banyak ilmu dan pengalaman, bukannya berterima kasih, malah pergi begitu saja! Apa pelatihan-pelatihan, tugas-tugas, dan diskusi-diskusi kita tidak ada artinya buat kamu?!"

Aku tetap diam dan menunduk walaupun dada makin bergolak dan panasnya mulai menjalar ke kepala.

"Belum lagi kelonggaran yang saya berikan saat kamu melakukan kesalahan karena sedang tidak konsen! Saya bisa saja memberi nilai buruk buat kamu untuk penilaian rutin yang diminta perusahaan karena itu! Tapi tidak saya lakukan! Menyesal saya memberi kesempatan semua itu buat kamu!"

Untunglah terdengar ponsel berbunyi dan Bu Listya menerimanya. Mungkin dari atasannya atau orang yang dihormati karena suara atasanku itu langsung berubah, lebih ramah dan sangat sopan. Aku menarik napas dalam perlahan dan memejam, berusaha mendinginkan kepala dan dada. Setelah percakapan telepon berakhir, Bu Listya tampak bersiap-siap hendak pergi. Ia memintaku keluar ruangan.

Suara barang jatuh dari kubikel Diatri mengurai lamunan itu. Aku berhenti sejenak di dekat kubikelku. Jika aku masuk dan duduk ke sana, sebentar lagi Bu Listya lewat. Aku khawatir tingkahnya membuat dada dan kepala meledak. Belum lagi Diatri pasti penasaran alasan aku dipanggil atasan kami barusan. Bisa-bisa aku mengatakan kepada teman setim itu hal yang bisa memperparah hubunganku dengan Bu Listya. Jadi, kuputuskan ke tempat lain saja dulu sampai dada dan kepala mendingin.

"Ke toilet," kataku asal menjawab pertanyaan Diatri saat melewati kubikelnya.

Akhirnya aku memang ke toilet karena bingung hendak ke mana. Di toilet aku menghubungi Hara dan menceritakan peristiwa yang baru kualami. Mungkin emosiku tidak akan separah ini jika saja tadi malam tidak ada peristiwa yang sudah mengundangnya datang. Papa marah karena aku tidak mengatakan kepadanya rencana indekos di dekat kantor. Papa tahu dari Kak Fey dan kakakku itu tahu saat tidak sengaja membaca pemberitahuan pesan Whatsapp dari Hara yang membahas tentang itu. Saat kupergoki Kak Fey sedang menggeser layar ponselku, aku merebut kasar ponsel tersebut dari tangannya dan keluar kamarku sambil membanting pintu.

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang