Part 10. Yeol

50 11 24
                                    

Part 10. Yeol
By Puspa Kirana

Haiiii 🌺

Sesuai janji, Dey hari ini bercerita dua kali. Yeayyy 😍.

Jadi, siapa sih yang masuk ke lift? Bikin mata Dey membesar dan badannya menegak.

Langsung baca aja, yuk! 😄

👭🌺👭🌺👭

"Hai, Dey!" Pak Ardi masuk sendirian. "Tugas luar?"

Aku tersenyum dan hampir menjawab ketika ia berkata lagi.

"Kamu pucat. Lagi enggak enak badan?"

Kebetulan, jadi aku tidak perlu capek-capek menjelaskan. Aku pun mengangguk.

"Jangan-jangan gara-gara revisi desain tadi malam, ya? Kenapa enggak bilang kalau lagi enggak enak badan?"

Nanti ada yang tambah mengamuk karena aku dianggap manja, Pak! Sepertinya Pak Ardi tidak enak hati. Terlihat dari tatapan dan nada suaranya.

"Enggak apa-apa kok, Pak. Saya masih bisa ngerjain."

"Kok masih tugas luar?"

"Enggak, Pak. Saya izin pulang."

"Berarti serius sakitnya?" Pandangannya menyelidik. "Pulang pakai apa?"

"Biasalah, KRL."

"Lagi sakit gini, naik KRL? Dari sini ke stasiun pakai apa?"

Aku merasa nada suara Pak Ardi berganti jadi khawatir.

"Saya baru mau pesan taksi online." Aku mengambil ponsel dari tote bag karena merasa diingatkan.

"Diantar saja sama sopir kantor, ya?"

"Eh, enggak usah, Pak. Sudah biasa, kok." Walaupun sebenarnya aku mau, tetapi tidak enak hati. Apa kata karyawan lain kalau tahu? Tidak enak badan sedikit saja, diantar mobil kantor segala. Padahal terbayang nyamannya, aku bisa istirahat selama perjalanan.

"Yakin kamu bisa? Lemas kayak gitu."

"Bisa, Pak. Insyaallah."

"Oke. Tapi, kalau ada apa-apa di jalan, kabari saya, ya."

Lah, kenapa saya perlu kasih kabar ke Bapak segala? Saya masih punya keluarga, Pak. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya dan berusaha terlihat lebih ceria.

Tiga perempat jam kemudian, aku sudah berada di taksi online menuju rumah. Aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi begitu duduk di taksi. Badan terasa lebih berat dan kepala mulai berdenyut-denyut ringan. Tiba-tiba terdengar nada pesan masuk dari ponsel yang kugenggam sejak turun dari commuter line. Aku melirik layarnya berharap balasan dari Hara atas pesan yang kukirim beberapa saat lalu mengabari kalau aku izin pulang.

Lazuardi Dewandaru: Sudah sampai mana, Dey?

Aku mengembuskan napas. Ini bukan pesan Whatsapp pertama darinya. Sejak berpisah karena ia turun di lantai I, tiap seperempat jam sekali pesan itu masuk.

* * *

Mataku membulat menatap Papa dan napasku tertahan sejenak. Apa aku salah dengar? Atau sedang berhalusinasi karena kurang enak badan?

"Maksud Papa gimana?" Agak terbata-bata aku melontar tanya.

"Dey, Papa dan Mama tahu kamu pasti kecewa. Tapi ini buat kebaikanmu juga. Mengelola AD sambil kerja di tempat yang berjauhan bukan hal yang baik. Apa lagi dengan tugas-tugas dari tempat kerjamu yang makin banyak. Kamu sampai enggak punya waktu untuk Papa Mama. Dan terutama buat kesehatanmu," kata Papa tetap pelan dengan suara rendah.

Areumdaun DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang