Pria asing

23 4 0
                                    

Pagi ini begitu cerah. Masih pukul 6.30 tapi matahari yang biasanya masih terasa hangat, tapi pagi ini sudah menyengat di kulit. Membuat sang gadis yang sedang berolahraga di taman ini menghentikan kegiatan larinya. Padahal ia baru saja berlari dua putaran, tapi rasanya ia sudah tidak sanggup menahan panasnya matahari yang terasa menusuk menembus kulitnya.

Ia menyeka keringat yang mengucur di dahinya kemudian berjalan menuju kursi taman dan duduk demi melepas penat sejenak. "Oh shit, aku lupa air mineral ku ada di mobil," makinya berbisik saat melihat seorang pria duduk di kursi yang sama sedang memegang botol air mineral.

"Air?" tawar pria yg duduk di ujung kursi tersebut tidak lama kemudian. Zulaikha menoleh menatap sebotol air mineral yang masih beruap dan berembun yang menandakan air itu masih benar-benar dingin. Ia menelan salivanya.  Saat ini ia benar-benar haus, tapi dia adalah pria asing, tapi air itu sungguh menggiurkan seolah-olah sudah berada dalam nyawanya, tapi bisa saja pria itu berniat jahat dengan memasukan sesuatu di dalamnya. Oh ayolah Zulaikha dilema saat ini, terlalu banyak kata "tapi" dalam benaknya.

"Masih bersegel, tenang saja." Pria itu seolah tau kekhawatiran Zulaikha. Bodohnya Zulaikha yang tidak melihat jelas-jelas plastik segelnya masih utuh. Zulaikha tersenyum canggung menerima botol mineral itu.

"Terima kasih," Ia membuka dan langsung meminum airnya dengan serakah hingga terdapat air yang melimpah keluar dari mulut dan menetes dari dagunya.

Pria itu hanya tersenyum tipis melirik Zulaikha dari ekor matanya. "Berapa?" Tanya Zulaikha tiba-tiba. Pria itu mungkin merasa tersinggung sekarang, ia mengernyitkan dahinya menatap Zulaikha heran.

Ah peduli setan, Zulaikha hanya tidak ingin berhutang budi dengan seseorang. Mereka masih saling menatap beberapa saat sebelum pria itu membuka suara.

"Aku tidak menjualnya." Ia mengalihkan pandangannya lurus ke depan, kemudian meminum air dalam botolnya sendiri.

Biasanya Zulaikha akan bersikeras tidak ingin berhutang budi pada orang lain, apalagi pria itu orang asing yang tidak dikenalnya, tapi Zulaikha baru menyadari sesuatu, "kau bukan berasal dari daerah ini?" bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.

"Hm…." Jawaban singkatnya malah membuat raut wajah Zulaikha terlihat sangat aneh.

"Suka jogging di sini?" oh ya ampun Zulaikha, pertanyaan macam apa itu. Ingin sekali ia menampar wajahnya sendiri saat ini. Zulaikha menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir suara yang muncul di pikirannya kemudian mulai fokus melihat ke depan, "abaikan pertanyaanku."

"Aku dari New york, aku di sini hanya berkunjung ke rumah teman lama."

Mendengar nama negara itu disebutkan sontak membuat kepala Zulaikha berputar. "Siapa temanmu?" kebiasaan Zulaikha yang terkadang bicara tanpa bisa dikontrol. "Maksudku, aku punya seorang teman yang berencana akan buka butik di New york bersama temannya di sana. Apakah kau adalah temannya Tino?"

Pria itu tertawa pelan, "New york bukanlah sebuah kota kecil, nona." Jawaban pria itu sukses membuat wajah Zulaikha memerah, bukan karena teriknya panas matahari, tapi melainkan karena malu yang luar biasa.

Bisa-bisanya ia bersikap bodoh di depan laki-laki asing, Zulaikha mengutuk dalam hati. Kemudian ia mulai mengabaikan keberadaan pria asing tersebut.  Zulaikha sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing, tadi dia hanya penasaran.

Pria itu pun merasa hal yang sama, berdiam diri melihat lurus ke depan, tapi ia memperhatikan wanita itu dari ujung ekor matanya beberapa saat.

'Terasa familiar'

Sampai suara dering ponsel di sakunya menghentikan kegiatan memandangi wanita itu dan beralih menatap ponselnya.

Matahari semakin tinggi, Zulaikha masih ada rencana lain setelah ini, diliriknya ponsel yang berada di saku celananya membuat mata indahnya melotot sempurna.

'Sudah pukul 7.39'

Secepat kilat ia bangkit dan berlari menuju tempat ia memarkirkan mobilnya meninggalkan pria asing itu tanpa sepatah kata.

Ia pulang ke rumah untuk membersihkan diri, kebetulan saat ini Bundanya sedang tidak ada di rumah. Ia tidak harus pusing untuk mencari alasan pergi ke mana. Ia harus mengurus semua surat menyurat untuk kepindahannya ke New york.

Ia mengunjungi Tino terlebih dahulu untuk menanyakan tanggal keberangkatannya. Ia menekan tombol bel berulang-ulang, Karena biasanya Tino sedang sibuk bermain game. Tentu saja jika seorang telah masuk ke dunia game, maka dunia nyata dan akhirat pun tidak akan pernah singgah dalam fikirannya.

Pintu terbuka, "Hei, kau menekan bel seakan orang yang sedang menahan buang air." Tino melenggang masuk yang disusul Zulaikha dari belakang.

Zulaikha mengabaikan sindirannya, "apa kau sudah mengatur tempat tinggalku di sana?"

"Sudah, sementara kau bisa tinggal di apartemenku." Tino duduk di sofa panjang dan memakan cemilan yang baru saja dia ambil di atas meja makan saat melewatinya tadi.

Zulaikha ikut duduk di sofa yang bersebrangan dengan Tino. "Bagaimana dengan pekerjaanku? apa kau sudah mengurusnya juga?"

Tino menyalakan televisi, "sudah, hanya tinggal menunggu konfirmasi dari HRDnya kapan kau akan di interview." Ia  mengambil posisi baring dengan nyaman di atas sofa panjang itu sambil memeluk bantal, tidak lupa dengan cemilan yang ia letakkan di atas meja di sampingnya itu. Matanya ke arah televisi, namun mulutnya tidak pernah berhenti makan dan berbicara dengan Zulaikha.

Zulaikha ikut duduk bersandar menyamankan dirinya, "jadi, kapan aku berangkat?"

"Hei, kau terlihat tidak sabar sekali. Siapa yang kemarin bahkan sempat menolak ide ini?" sarkas Tino sambil terkekeh. Zulaikha mengambil bantal di sampingnya kemudian melemparnya ke wajah Tino hingga pria itu mengaduh.

"Aku pikir ini adalah ide bagus, siapa tahu di sana aku bisa mendapatkan gagasan serta keberanian untuk memulai bisnisku lagi setelah aku bekerja di perusahaan asing dan mendapat sedikit ilmu dari mereka." Zulaikha menggendikan bahunya, ia merampas cemilan milik Tino dan memakannya sambil menonton tv.

"Kalau Linda mendengar ini, aku yakin ia pasti menjadi orang pertama yang paling bahagia." Zulaikha menoleh cepat ke arah Tino dengan wajah berang, "memangnya kau tidak bahagia mendengarnya?"

"Bukan begitu, tentu saja aku bahagia, tapi selama ini Linda selalu menginginkan kau memiliki usaha sendiri lagi seperti dulu."

"Ya sudah, kau urus tiket pesawatku. Aku harus pergi mengurus surat-surat kepindahanku." Zulaikha beranjak dari duduknya.

"Apa kau akan mengatakan yang sebenarnya pada Bunda?" tanya Tino yang menghentikan langkahnya, "aku tidak yakin, tapi aku tidak mau membuatnya khawatir, akan kupikirkan itu nanti."

"Baiklah terserah, kau tau apa yang terbaik. Apa kau akan menjemput Linda?" Tino sedikit berteriak, karena Zulaikha sudah berada di ambang pintu keluar, "tidak. Dia mengatakan padaku ada pemotretan sampai jam makan siang nanti. Aku pergi dulu!"

Terjebak Sandiwara (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang