Kabarnya Tino mendarat di New york sore ini, Zulaikha sudah membereskan apartemen sebelum berangkat kerja. Ia selalu diantar jemput oleh Farah, meski setiap kali ia menolak dan mengatakan ia bisa berangkat menggunakan taxi, Farah tetap mengindahkan.
"Kalau saja aku punya kesibukan, sudah pasti aku tidak bisa mengantar jemputmu. Kadang aku juga bosan kalau sedang tidak ada kelas," sungut Farah. Ia sedang menyetir mobilnya dengan Zulaikha yang duduk di sampingnya. Zulaikha hanya tersenyum.
Farah adalah gadis berusia 20 tahun, namun ia memang terkesan seperti anak yang manja. "Tino beruntung memiliki gadis sepertimu sebagai seorang teman."
Farah tertawa, "aku sudah lama mengenal Tino justru aku yang beruntung. Meski kami hanya sebagai teman melalui email. Sesekali kami akan membuat panggilan video kalau aku membutuhkannya. Selama ini aku yang selalu membutuhkannya, aku juga sudah menganggapnya sebagai kakak, lalu dengan kesempatan ini apa aku juga tidak boleh untuk membantunya? apalagi disuruh menemani wanita cantik sepertimu." Mereka berdua tertawa.
"Kau terlalu berlebihan."
"Sore nanti aku jemput kau dulu, lalu kita ke bandara bersama." Ucap Farah sebelum meninggalkan Zulaikha tepat di depan gedung kantor.
Farah dan Zulaikha cukup dekat untuk beberapa hari ini, wanita itu selalu menemaninya kemanapun. Kecuali jika Farah sedang tidur, wanita itu bisa digelar sebagai putri tidur. Jika sudah tidur, akan sangat sulit sekali untuk bangun. Zulaikha juga beberapa kali menemui Rama jika Farah tidak bisa menemaninya. Pria itu memiliki waktu yang flexible. Setelah mengundurkan diri dari jabatan CEO di perusahaan Alm. Ayahnya, ia kini lebih sering melakukan salah satu hobby-nya yaitu dalam bidang fotografer. Kamera selalu menggantung di lehernya kemanapun ia pergi.
Beruntung pria sepertinya memiliki banyak kepandaian. Ia sangat ahli dalam geografis dan designe, dulu saat ia masuk ke dunia perkuliahan awalnya ia ingin menjadi arsitek. Kemudian cita-citanya berubah haluan menjadi seorang pembisnis yang meneruskan kerajaan ayahnya.
Ponsel Zulaikha bergetar, Rama menelpon.
Zulaikha mengabaikannya dan memilih untuk mensilent ponselnya. Ia masih berkutat dengan laporan yang harus dia input. Khawatir ia akan keliru jika ia tidak mencoba profesional. Dia masih sangat baru bekerja di sini, ia tidak mau merusak imagenya.
Satu jam kemudian Zulaikha sudah menyelesaikan pekerjaannya, ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Rama. Rupanya pria itu sudah mengirim pesan "Makan siang aku jemput, kita makan bersama." Zulaikha tersenyum membacanya.
"Zul, makan siang bersama?" tanya salah satu pegawai yang kebetulan satu devisi dengannya. "Maaf, Yara. Aku sudah ada janji dengan seseorang," sesal Zulaikha yang diangguki oleh Yara.
Yara adalah seorang wanita keturunan orang afrika yang sudah menetap di New York lebih dari 10 tahun-teman pertamanya semenjak ia menyandang karyawan baru menjadi salah satu staf gudang di perusahaan ini.
Zulaikha turun ke loby untuk menunggu Rama, Zulaikha sedikit sangsi pria itu akan datang ke kantor ini lagi setelah pria itu resign dari pekerjaannya. Akhirnya Zulaikha memutuskan untuk berjalan sedikit menjauh dari gedung kantor. Cuaca memang sedang tidak terlalu panas, matahari ditutupi oleh sekumpulan awan yang membuat cahayanya sedikit meredup. Zulaikha memperkirakan akan turun hujan beberapa jam ke depan.
Tiitt!!
Zulaikha menoleh saat suara klakson terdengar memanggil. Ia sedikit terkejut saat menoleh asal suara, "Kenapa kau berjalan?" tanya Rama. "Kenapa kau menggunakan motor?" bukannya menjawab, Zulaikha melontarkan pertanyaan yang tiba-tiba bercokol di kepalanya saat melihat Rama. "Cuacanya tidak terlalu panas, naiklah!" titah Rama, "tapi aku menggunakan span, Ram." Protes Zulaikha, namun Rama malah tertawa. "Aku lupa, maaf. Pakai jaketku untuk menutupinya." Rama membuka jaket levisnya dan memberikannya pada Zulaikha.
"Jadi, kenapa kau berjalan?" tanya Rama lagi setengah berteriak saat mereka sudah jalan. "Aku hanya tidak ingin membuatmu terpaksa menunjukkan wajah di kantor lagi. Yah itu asumsiku," kata Zulaikha sedikit tertawa canggung, merasa bersalah jika harus mengungkit masalah itu.
Rama tersenyum, "terima kasih, tapi seharusnya tidak perlu kau pikirkan. Aku tidak akan mungkin mau menjemputmu kalau itu sebagai alasanku." Zulaikha tersenyum, benar juga. Kemudian hening sepanjang perjalanan mereka menuju restoran favorite Rama.
"Tempat ini bagus," puji Zulaikha saat mereka sudah sampai di tujuannya. "Aku suka tempat ini, design nya terlihat sederhana namun sesungguhnya sangat sulit. Selera seni orang yang punya restoran ini sangat bagus. Fasilitasnya cukup lengkap, merangkap semua kalangan, pemikiran fantastis untuk seorang pebisnis kecil," tutur Rama menunjukan rasa kagumnya pada restoran yang saat ini mereka kunjungi.
Mereka berbincang-bincang beberapa hal ringan seputar tempat-tempat favorite masing-masing sebelum pelayan membawakan pesanan mereka. Rama juga cukup senang berbicara dengan Zulaikha yang sangat nyambung jika diajak bicara tentang apa saja, bisnis, hobby, design, penulis favorite, lagu kesukaan, dan lain sebagainya.
Begitupun Zulaikha, mereka menjadi banyak mengenal satu sama lain hingga mereka sedikit lupa waktu. "Ram, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Zulaikha, ia tampak sedikit kesulitan memotong steak di piringnya. "Ya?" Rama yang melihatnya langsung membantunya memotongkan.
"Terima kasih." Rama menangguk, kembali dengan makanannya. "Sewaktu kau di Indonesia, apa itu urusan bisnis?"
"Tidak. Aku cuti, dan seperti yang kubilang saat itu. Aku mengunjungi salah satu teman lama." Di luar sedang turun hujan sangat deras. Suara gemuruh menyadarkan Zulaikha, bagaimana ia akan kembali ke kantor? mereka menggunakan motor tentu akan kehujanan, taxi juga tidak mungkin lewat sini, tempat ini sedikit jauh dari jalan utama. Oh ya ampun bagaimana dengan pekerjaannya.
"Rama, hujan." Zulaikha memberitahu. Rama mengangguk sambil menyuap steak terakhirnya. "Bagaimana kita pulang?" ia menyatakan kegelisahannya. Rama terdiam sejenak, menelan steak di mulutnya sangat perlahan kemudian ia minum. "Maafkan aku, seharusnya aku tidak menggunakan motor," sesal Rama. Zulaikha tahu ini bukan kesalahan siapa-siapa. "Bagaimana dengan pekerjaanku, aku akan dianggap tidak profesional, Ram." Zulaika mengusap dan menutup wajahnya cemas. Ini adalah pekerjaannya yang terbaik dari yang sebelum-sebelumnya. Ia tidak mau kehilangan pekerjaannya kali ini sebelum ia bisa merintis usahanya lagi.
Rama yang melihat kegelisahan wanita itu mencoba untuk menenangkannya. "Biar aku coba menghubungi atasanmu," kemudian Zulaikha menyela, "tapi aku akan dianggap memanfaatkanmu." Tangan Rama yang siap menelpon terhenti, ia menatap Zulaikha teduh. "Kau tidak memanfaatkan siapapun di sini." Suara bariton Rama yang penuh pengertian dan perhatian membuat kegelisahan Zulaikha berubah drastis menjadi desiran hangat yang menjalar. Ia hanya terdiam menatap Rama yang mulai menjauh untuk menelpon atasan wanita itu.
"Di sini dingin, kita akan pindah ke tempat yang lebih tertutup. Aku rasa hujan ini akan lebih lama," ajak Rama setelah ia kembali dari menelpon tadi. Zulaikha hanya mengikut tanpa banyak berkata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Sandiwara (On Going)
RomanceKetika takdir menyatukan cinta yang tumbuh dan berawal dari sandiwara. Salah satu tetap kukuh menjadi naif dan tidak mengakui perasaannya, berakibat pada penyesalan yang tidak berguna. Zulaikha adalah seorang gadis yang menjadi korban cinta itu send...