Zulaikha menangis hebat saat mendengar kabar bahwa Bundanya tiba-tiba pingsan dan sekarang kondisinya sangat kritis di rumah sakit. Ia merasa menyesal karena sudah meninggalkan Bundanya, dan sekarang ia harus kembali dan tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Zulaikha sudah berada di depan ruangan dimana Bundaya sedang dirawat oleh dokter, ya allah selamatkan orang tua satu-satunya yang ia miliki, ia akan melakukan apapun bahkan tukar saja nyawanya jika memang diperlukan. Sungguh ia belum siap untuk kehilangan Bundanya.
Dokter keluar dari ruangan dengan raut wajah yang tidak bisa dibaca, "maafkan kami. Kami sudah melakukan yang terbaik, ternyata sang pencipta lebih menyayanginya. Saya turut berduka cita." Setelah mengatakan itu Dokter meninggalkan Zulaikha.
Zulaikha histeris berteriak dan menghambur berlari menerobos pintu untuk melihat Bundanya. Kini Bundanya sedang terbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh dan juga wajahnya.
"Ini tidak mungkin kan, Bun?" Zulaikha berjalan pelan mendekati jenazah Bundanya. "Bunda hanya sedang ngerjai Zul 'kan, Bun?" lirihnya sambil menggelengkan kepalanya meyakinkan diri semua ini tidaklah benar.
Zulaikha perlahan membuka kain yang menutupi wajah Bundanya, terlihat wajah ayu Bundanya sangat pucat seperti tidak memiliki darah, bahkan kini sudah mulai membiru. sedikitpun tidak terlihat bekas senyum dari bibirnya, matanya sudah tertutup rapat, Hati Zulaikha mencelos.
Ia kembali histeris memeluk dan memanggil Bundanya, air matanya berderai penuh penyesalan. Ia belum sempat untuk membahagiakan wanita yang paling berharga dalam hidupnya lebih daripada ini. Ia belum bisa menjadi anak yang berbakti, ia juga belum memberikannya seorang cucu yang selama ini diidamkannya. Ya allah, kenapa harus secepat ini? kenapa disaat ia baru saja ingin berusaha dengan jalan yang baru saja ia dapatkan?
Terlintas sekelebat senyuman indah Bunda saat melepas kepergiannya, kenapa dia tidak merasakan firasat sedikitpun?
Zulaikha terhentak bangun dan terduduk dari tidurnya. Wajahnya sudah basah oleh keringat, matanya penuh dengan air yang mengalir--ia tau itu adalah air matanya. Ternyata hanya mimpi buruk. Ia kembali menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Jantungnya masih tidak beraturan tapi kini berangsur kembali normal. Ia menutup matanya sejenak, bayangan Bundanya yang ditutupi dengan kain putih terlintas dalam pikirannya. Ia segera membuka matanya dan bangun. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar bisa lebih tenang.
Zulaikha sudah sampai di bandar udara Internasional JFK New York pukul 19.30 malam tadi. Perjalanan dari bandara menuju Empire Building alamat apartemen Tino memakan cukup waktu. Ia bisa beristirahat dari perjalanannya yang cukup panjang--tentu saja sekaligus makan malam di restoran tepi jalan saat ia menuju apartemen dan membersihkan tubuhnya--pada pukul 1.45 dini hari baru ia bisa terlelap.
Sekarang ia terbangun pada pukul 12.20 siang, rekord terbaru untuk Zulaikha yang biasanya bangun paling awal sebelum Bundanya. Mengingat sang Bunda, ia kembali ingat mimpi buruknya. Ia menghela nafas. Perutnya mulai berbunyi cacing-cacing di dalam sana sudah mulai berdemo minta diisi dengan makanan.
Setelah ia mandi dan bersiap, ia keluar dari apartemen untuk mencari makan. Ia mencoba menghubungi Farah--salah satu teman dekat Tino yang ia percaya untuk menemani Zulaikha--untuk mengajaknya mencari tempat makan, namun sepertinya ponsel wanita itu sedang tidak aktif.
Akhirnya Zulaikha memutuskan untuk mencari restoran terdekat. Ia duduk di salah satu meja dan memesan makanan dan minuman. Entah perasaannya saja atau memang, sebagian orang di sini sedang memperhatikan dirinya. Zulaikha mencoba terlihat biasa saja-meski dalam benaknya berfikir apa yang salah dengan dirinya-dan mengabaikan tatapan-tatapan itu yang mungkin saja memang hanya perasaannya saja.
Zulaikha duduk sendiri di sudut dekat jendela. Ia melahap makanannya tanpa beban, sampai seseorang meminta duduk bersamanya.
"Excuse me, boleh aku duduk disini?" Suara maskulin pria masuk diindra pendengar Zulaikha, ia menatap datar pria dihadapannya kemudian menatap seisi ruangan, memang tampaknya tidak ada lagi kursi kosong. Akhirnya Zulaikha mengangguk sebagai jawaban, kemudian melanjutkan acara makannya seolah tidak ada orang lain di sekitarnya.
Sampai makanan Zulaikha habis tak bersisa, pria itu masih belum juga memesan makanannya. Hanya memandangi Zulaikha sedari tadi yang membuatnya merasa risih.
"Apa anda tidak mau memesan makanan?" Zulaikha mendorong pelan piring kosongnya menjauh dari hadapannya.
"Aku sudah makan sebelumnya." Jawab pria itu singkat. Zulaikha hanya mengangguk, tangannya sibuk mengambil tissu dan membersihkan mulutnya dari sisa-sisa makanan.
"Jadi, apa yang kau lakukan duduk di sini? untuk menggodaku?" sarkas Zulaikha, ia terlihat masa bodoh dengan pertanyaannya yang bisa dibilang lebih tepat pernyataan.
Pria itu tersenyum, "aku sudah memesan minuman, dan sedang menunggu teman." Zulaikha mengangguk. Pria itu mulai sibuk memainkan handphonenya, Zulaikha menatap ke arah pria di hadapannya. Biasa saja dalam penampilan, tidak mencolok, tapi tetap ada aura kemaskulinan yang kuat. Untuk wajahnya bisa dikategorikan di atas standar, lumayan tampan. Ditambah bulu-bulu halus bakal jambang di sekitar wajah, matanya tajam namun tatapannya teduh, hidung mancung, bibir nya ... menggoda.
Stop! apa yang sedang merasuki pikiran Zulaikha hingga menilai seorang pria jauh dan detailnya. Tapi tunggu, jika dilihat dan diingat-ingat, sepertinya Zulaikha pernah melihat pria ini, tapi dimana?
"Menikmati pemandangannya?" Suara bariton itu membuyarkan seketika segala yang ada di otaknya yang sedang melanglang buana.
"Huh?" wajah Zulaikha memerah menahan malunya setengah mati kepergok menghayati wajah seorang pria. Ya ampun demi apa, Zulaikha tidak pernah merasa serendah itu.
Pria itu hanya terkekeh pelan melihat wajah Zulaikha yang bersemu. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Zulaikha mengalihkan topik, ia tidak tahan jika mengingat kekonyolannya.
"Emm ... benarkah?" tanya pria itu santai, senyum geli nya masih terlihat, membuat Zulaikha masih merasakan malu.
"Lupakan, aku sudah selesai. Permisi." Pria itu hanya tertawa pelan melihat Zulaikha langsung pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Sandiwara (On Going)
RomanceKetika takdir menyatukan cinta yang tumbuh dan berawal dari sandiwara. Salah satu tetap kukuh menjadi naif dan tidak mengakui perasaannya, berakibat pada penyesalan yang tidak berguna. Zulaikha adalah seorang gadis yang menjadi korban cinta itu send...