Masakan Rama

6 3 0
                                        

Tidak pernah terlintas sedikitpun di benak Zulaikha, ia berniat dengan sengaja untuk membohongi orang yang paling dicintainya di dunia, tapi usia Bundanya tidak bisa dibilang muda lagi, apalagi dengan kesehatan yang naik turun seperti ini, kapanpun hari yang tidak diinginkan Zulaikha bisa saja terjadi.

Permintaan Bundanya bukanlah hal yang sulit sebenarnya, tapi bagaimanapun pribadi Zulaikha sudah terbentuk sangat sulit percaya laki-laki selain Alm. Ayahnya dan Tino, sekarang juga ditambah satu nama, Rama. Yah setidaknya sampai saat ini Zulaikha tidak merasakan adanya ancaman berada dekat di sisi Rama, malah sebaliknya, ia merasa aman.

Mencari pasangan hidup adalah hal paling terakhir yang ada dalam daftar hidupnya. Menjadi anak yang berbakti adalah prioritas utamanya sekarang, dengan bekerja keras agar pengobatan Bundanya terjamin. Tidak ada hal lain yang lebih penting dari itu.

Selama beberapa bulan terakhir Bunda selalu memintanya untuk mencari pasangan, tapi selalu bisa ia elak dengan berbagai cara.

Beberapa hari setelah dia berada di New york adalah punca dari masalah Bundanya yang kian mendesak agar dia mencari pasangan. Rasanya sudah cukup membuat Bundanya resah dengan kesendiriannya, mungkin dengan cara berbohong seperti ini bisa membuatnya bahagia. Zulaikha rela menjadi anak durhaka kali ini.

"Sudah siap?" tanya Tino. Siang ini Zulaikha dan Rama akan melakukan video call dengan Bunda untuk mengumumkan hubungan mereka tiga hari setelah rencana malam itu.

Zulaikha mengangguk, ia gugup, jantungnya berdetak kencang, ia khawatir ia tidak bisa melakukan sandiwara ini dengan baik. Khawatir Bunda akan langsung mengetahuinya.

Rama di sebelahnya tampak santai dengan pakaian kasualnya. Mereka melakukan video call di ruang tamu Apartemen Tino.

Tino menepuk dahinya pelan. "Kalian akan segera diketahui kalau kaku begitu. Rama pegang tangan Zul, atau rangkul dia. Kau harus rilex Zul, ini bukan acara akad nikah," intruksi Tino setengah mengomel, ia gemas sendiri melihat pasangan kontrak di hadapannya ini.

Dua jam berjalan dengan baik, tanpa hambatan. Setiap pertanyaan yang dilontarkan sang Bunda selalu bisa dijawab oleh Rama. Zulaikha tidak bisa mengambil resiko kalau dirinya yang menjawab pasti akan segera diketahui ini hanya sandiwara.

"Zul, aku rasa kalian harus membangun chemistry. Kalau Bunda melihat langsung kalian berdua yang kaku seperti ini? Bunda pasti kecewa karena tahu bahwa anaknya sedang berbohong."

"Membangun chemistry seperti apa maksudmu?"

Ponsel Tino berdering di atas nakas. "Tanyakan itu pada Rama, aku yakin dia mengerti maksudku." Tino beranjak meninggalkan Zul dan Rama untuk mengangkat panggilan telepon di dalam kamarnya.

Zulaikha menoleh ke arah Rama, pria itu sedang asik sekali dengan kamera di tangannya. Ia tidak jadi bertanya, memalingkan wajahnya kemudian meraih gelas minuman di atas meja di hadapannya. Mereka masih duduk berdampingan.

"Zul," panggil Rama tanpa menoleh, ia masih mengotak-ngatik kameranya. Zulaikha pun melakukan hal yang sama, menanggapinya dengan menggumam tanpa menoleh. Dia memilih bersandar sambil menikmati film action dari televisi di ujung sana.

"Sepertinya kameraku sedikit eror, kita singgah ke rumah temanku dulu baru menemui papa." Pria itu meletakkan kameranya di atas meja, lantas berdiri berjalan menuju dapur. "Kalian ada persediaan makanan? sepertinya aku lapar,"

Zulaikha mengernyit menoleh menatap punggung Rama yang mulai menjauh, "bukannya kau bilang kita akan makan siang bersama Papa mu?" Rama sudah menghilang di balik tembok, mau tidak mau Zulaikha beranjak mengikuti Rama.

"Yah, hanya formalitas, aku tidak mau berlama-lama satu meja dengan wanita itu." Rama membuka kulkas dan meneliti isi di dalamnya.

"Memangnya kau bisa masak?" tanya Zulaikha meremehkan, melihat Rama mengeluarkan beberapa sayuran. Wortel, brokoli, buncis, sedikit daging sapi, dan udang.

Rama mulai menggunakan celemek yang menggantung di sudut dapur. "Kau mau mencicipinya?"

Zulaikha tersenyum, "dengan senang hati tuan chef." Dia berdiri bersandar di meja keramik dekat kompor. Memperhatikan Rama yang mulai cekatan dalam memotong sayurannya.

"Aku tidak tahu kalau kau juga bisa masak?"

Gerakan tangan Rama sungguh profesional, lincah seperti chef-chef terkenal. Zul takjub sekaligus ngeri melihat pisau mencincang bawang sangat cepat, khawatir akan ikut memotong jari pria itu.

Tidak lama kemudian, Rama memotong-motong sayuran, kemudian membuang kulit udang dengan cekatan. 15 menit kemudian Rama mulai menumis. Suara bising dari kuali panas menyeruak kemana-mana. "Kalian punya nasi 'kan?" tanya Rama di sela kegiatannya.

Wanita itu hanya mengangguk tersenyum. "Sepertinya kau mencintai makanan pokok orang-orang Asia." Rama hanya tertawa tanpa menghentikan kegiatannya.

"Apa ada yang bisa aku bantu?" tawar Zulaikha, Rama menggeleng. Sekarang dia beralih dengan sisa udang.

Lelah berdiri, Zul memilih duduk menunggu di meja makan yang tidak jauh dari sana, sambil memainkan ponselnya.

30 menit kemudian makanan sudah tersaji di atas meja di hadapan Zul. Wanita itu mendongak antusias, mencium aroma masakan yang sangat menggugah selera.

"Dimana nasi nya?" Rama mulai mengambil piring, Zul bergegas mengambil alih. "Biar aku saja, duduklah." Rama tidak melepaskan, Zul juga demikian memegang piring bulat itu untuk ia ambil alih.

Mereka saling tatap sesaat, "aku bisa melakukannya, Zul."

"Tapi kau bukan pembantu di sini, jadi biarkan aku ikut membantu." Wanita itu sedikit kesal sedari tadi pria itu tidak mengijinkan dia untuk membantu apapun.

Akhirnya Rama mengalah, ia melepaskan piring kaca tersebut. Dia melepaskan celemek di tubuhnya, tapi sepertinya ikatan tali di belakangnya terlanjur ikatan mati. Dia kesulitan melepaskannya.

Zul yang sedang menata piring di atas meja menoleh dan tersenyum. Dia mendekat menawarkan bantuan. "Biar aku saja."

Gerakan Rama langsung menjauh, "aku bisa melakukannya." Zulaikha sontak menjadi lebih kesal dari sebelumnya.

"Kenapa kau keras kepala sekali, Ram?" Zulaikha mengindahkan penolakan Rama, dia tetap mendekat untuk membukakan tali di belakang Rama--yang mulai bertindak tidak menolak.

"Zul, aku harus pergi." Tino muncul dari tembok pembatas. "Waah kalian masak apa?"

Tino mengaduh, tangannya dipukul pelan oleh Zulaikha saat dia mencomot udang goreng di atas meja. "Kau sungguh tidak sopan, Tin."

"Aku minta maaf, aku pergi Zul, Ram. Semoga hari kalian menyenangkan!" Tino meninggalkan dapur sembari melambaikan tangan.

Zulaikha hanya menggeleng melihat tingkah Tino yang suka sembarang mencomot makanan.

"Kemana dia?" tanya Rama. Celemek sudah ia gantung kembali di sudut dapur. Dia menarik kursi dan duduk. Sedangkan Zul mengambil piring di hadapan Rama untuk diisi dengan nasi.

"Aku bisa," Zulaikha langsung melotot menatap Rama agar dia tidak menolak. "Aku tidak tahu, tapi dia sekarang memang sedang sibuk mengurus Butiknya yang akan dibuka awal bulan depan."

Rama hanya mengangguk, mereka mulai makan. Rama memasak sayur capcay, udang goreng, dan bisteak daging sapi.

"Bagaimana kau bisa memasak seenak ini Ram?" komentar Zul saat ia mencicipi masakan pria itu.

"Ibu yang mengajarkan," jawabnya singkat.

Rama dituntut oleh Ibunya agar bisa melakukan semua pekerjaan laki-laki maupun perempuan. Ibunya selalu mengatakan bahwa pekerjaan tidak ada jenis kelaminnya. Itu membuatnya terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah.

Terjebak Sandiwara (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang