“tapi tetep aja lah. Menjalin hubungan beda agama penuh resiko. Bakal dihadapkan dengan pilihan yang sulit nantinya. Kalo gak bisa memilih gimana? Memilih Tuhan atau pasangan itu gak gampang. Gua ingetin aja ya, jangan terlalu berani bermain dengan perasaan.”
Perkataan Vania dari kemarin terus saja terputar otomatis dipikiran Malya. Dirinya semakin bimbang. Ingin mempertahankan hubungan, tapi tak siap dihadapkan dengan pilihan. Ingin mengakhiri, tapi masih belum siap untuk berpisah. Terbesit di hati kecilnya untuk membawa Hans masuk islam dan menjadi mualaf, agar tidak ada lagi perbedaan yang kontras di antara mereka.
Tapi—
Drtt...drttt...
Ponsel Malya berdering, tanda ada panggilan telepon masuk. Melihat nama Hans yang tertera di layar, ia pun langsung menjawabnya.
“halo, Mal?” tanya Hans dari seberang.
“iya halo. Ibadahnya udah selesai?”
“udah kok udah selesai. Ini aku langsung ke rumah kamu ya?”
“oke oke, aku tunggu. Eh tapi, makan sop buah kayaknya seger dehhh,” ujar Malya. Memberi kode.
“baik tuan puteri, nanti hamba belikan”
Malya terkekeh. “hehe yaudah, hati-hati di jalan, jangan ngebut.”
“siap, laksanakan!”
Panggilan telepon pun diakhiri. Awalnya Malya tersenyum senang, tapi sedetik setelah itu senyumnya memudar. Lagi-lagi ia memikirkan bagaimana cara membuat Hans tertarik dengan Islam, sedangkan laki-laki itu sangat rajin beribadah. Selama ini, ia juga tidak pernah mendengar pacarnya bertengkar dengan siapapun itu. Tandanya laki-laki itu sangat menjunjung tinggi ajaran agamanya.
Apa dia terlalu jahat jika berpikiran seperti ini?
***
Tok! Tok! Tok!
Mendengar ketukan pintu, Malya langsung beranjak dari sofa dan berjalan membukakan pintu. Tak salah lagi, itu adalah Hans. “ayo masuk!” ujar Malya.
Si tamu mengangguk mengiyakan. Setelah melepas sepatunya, Hans pun melangkah masuk dan menaruh beberapa kantong plastik berisi makanan di meja ruang tamu. “sesuai pesanan kanjeng ratu ya...”
Malya tersenyum lebar. “ihhh kamu beli kebab juga? Kok tahu sih aku lagi mau kebab? Mau beli tapi gak ada waktu, gak tahu juga tempat yang jual dimana.”
“biasa, naluri jodoh hahahaha!”
“uhuk!” Malya hampir tersedak karena ujaran sang pacar. Otaknya pun mencoba memutar ulang perkataan Hans tadi. Naluri jodoh? Jodoh? Jodoh?!! Aamiin.
Rumah Malya sedang tidak ada orang. Kedua orangtuanya pergi ke rumah nenek karena neneknya jatuh sakit. Karena kurang orang untuk menjaga di rumah sakit, akhirnya kedua orangtua Malya yang pergi. Dan ternyata, sendirian di rumah cukup menakutkan. Tanpa disangka, saat ia mengeluh ketakutan, Hans langsung menawarkan diri untuk menemaninya.
“emangnya temen-temen kamu kemana?” tanya Hans sambil melahap sesuap nasi goreng.
Malya tak langsung menjawab, karena mulutnya masih penuh dengan kebab. Setelah sekian detik mengunyah, ia pun menelannya. “semuanya lagi pada nginep di rumah saudara mereka. Maklum lah hari libur, jadi pada jalan-jalan.”
Mendengar jawaban Malya. Hans hanya mengangguk-angguk. “yaudah, kalo takut, aku temenin ya malam ini. Aku juga khawatir ninggalin kamu sendirian di rumah, takut terjadi apa-apa.”
“subahanallah Hans...gimana aku gak sayang sama kamu coba? Kamunya aja kayak gini,” ujar Malya. Merasa tergila-gila sendiri. “makin cinta aku tuhh.”
Hans tertawa kecil. “Makasih udah sayang sama aku. Tapi, sebesar apapun cinta kamu ke aku, jangan sampe melebihi rasa cinta kamu ke Penciptamu ya.”
Malya dalam hati:
tolong woy, ini pacarku hasil perkawinan dari manusia dengan malaikat apa gimanaaa?!
—Malya***
= 04 : 35 AM =
Tok tok tok!
Berkali-kali Hans mengetuk pintu kamar Malya, tapi sang empunya tak kunjung bangun. Panggilan teleponnya juga tak ada yang terjawab. “Malya! Bangun, Shalat Subuh oyyy!!!” teriak Hans sambil terus menggedor pintu kamar sang pacar.
“lima menit lagi! Masih ngantuk!” sahut Malya dari dalam kamarnya.
Bukannya merasa puas dan menghentikan kegiatannya. Hans malah semakin keras mengetuk pintu kamar Malya. “sekarang!!! Cepet bangun gak?! Keburu habis waktunya loh, Ini udah jam lima!!!” ujar Hans, berbohong.
Dari dalam kamar, terdengar suara barang-barang jatuh. Dan tak lama pintu kamar terbuka. “astagfirullah, pake kesiangan lagi,” Malya langsung berlari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sedangkan Hans, ia tertawa melihat wajah panik dan wajah khas bangun tidur dari seorang Malya Syikal. Sangat lucu.
Setelah selesai wudhu. Malya melihat jam dinding yang ada di ruang tamu. Jarum jam yang pendek berada di antara angka empat dan lima, dan jarum jam yang panjang berada di angka sembilan. “hah?! masih jam lima kurang?!” Malya memandang Hans dengan tatapan kesal. “kamu boongin aku?!!” tanya Malya.
Sambil terkekeh, Hans mengangguk. “iya maaf, lagian kamu susah banget dibangunin. Nanti kalo keburu terbit gimana? Gak baik loh ninggalin shalat, apalagi dengan alasan kesiangan atau ketiduran.”
“ya...aku kan tidur malem karena nonton drama, terus bangun kesiangan itu manusiawi lah,” ujar Malya. Mencari alasan.
“loh? Jangan sangkut pautkan urusan surga sama manusiawi dong. Bangun pagi buat shalat subuh itu harus ada niat dan kemauan dari hati, gak ada hubungannya sama manusiawi manusiawi apalah itu.”
Tak ingin mendengar ocehan Hans lebih banyak lagi, Malya hanya mengangguk-angguk saja. Ia bersandar di tembok dan memejamkan mata karena masih mengantuk. “eh Malya! Cepetan shalat gak?! Atau mau aku shalatin hah?!” teriak Hans menegur.
Malya berdecak. “aku gak mau dishalatin, aku maunya shalat bareng kamu,” ujar Malya lalu berjalan masuk ke kamar. Meninggalkan Hans yang masih mencerna kata-kata Malya barusan.
***
JANGAN LUPA VOTE YA!THANK YOU FOR READINGGG!
KAMU SEDANG MEMBACA
Different | Hendery ( ✔ )
Fanfiction- Tuhan memang satu, kita yang tak sama - Di setiap hubungan pasti ada masalah sewaktu-waktu, apalagi hubungan beda agama. Saling menerima perbedaan dan saling toleransi bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ditambah lagi dengan pertentangan dan...