"Mal, kamu harus pikirin kesehatan bapak kamu. Dokter sendiri yang menganjurkan, permintaannya harus diusahakan dituruti."
Di koridor rumah sakit, Malya berdecak sebal mendengar ujaran Rizki barusan. "tapi aku gak mau dijodohin sama kamu!"
Rizki mengusap wajahnya gusar. "Mal, aku mau ngajak kamu taaruf, orangtua kamu juga udah ngasih restu kok. Tunggu apalagi coba?"
"aku bisa ngasih kepastian dan pastinya hubungan kita punya tujuan yang jelas yaitu pernikahan, sedangkan pacar kamu sekarang? Bukannya bawa kamu ke jenjang pernikahan malah bawa kamu untuk berbuat zina dan maksiat," ujar Rizki lagi.
Malya bangkit berdiri dari kursinya. "kamu kalo mau ngasih nasehat, pikir-pikir dulu dong. Ngasih nasehat boleh, tapi jangan sampe bikin orang sakit hati!" ujar Malya, lalu beranjak pergi meninggalkan Rizki.
Perempuan itu langsung menuju halte, dan pulang dengan bis. Sepanjang perjalanan, Malya hanya melamun sambil melihat keluar jendela. Di kepalanya, sedang ada keributan, sangat berisik. Perjodohan, pernikahan, perpisahan. Bagaimana bisa ia mengalami itu dalam satu waktu?
Seketika, Malya merasa dirinya sangat bodoh. Karena berani mengangguk dan mengatakan iya saat ditanya apakah menerima perjodohan menyedihkan itu. Semua pilihan yang tersedia, tidak ada yang bagus, tidak ada yang benar, semuanya serba salah.
Drrtt...Drrttt...
Lamunan Malya pun buyar karena dering teleponnya yang cukup mengganggu. "halo?"
"Malyaaa, kamu lagi dimana? Aku ke rumah kok gak ada orang?"
"aku lagi di bis, dari rumah sakit, tadi bapak kena serangan jantung lagi."
"kenapa gak minta jemput? Aku kan kang ojek kesayangannya tuan putri"
Malya terkekeh kecil. "yaudah, tolong jemput tuan putri di halte aja yaaaa," ujar Malya.
"siap! Pangeran langsung jalan deh nih"
"iya pangeran kodok," Malya langsung menutup teleponnya, tak ingin mendengar protes dari seberang sana. Ia mengulas senyum tipis, tapi detik berikutnya pudar lagi. Kepalanya lagi-lagi ribut memikirkan, kapan waktu yang tepat untuk memberi tahu Hans. Tiga hari lagi, ia akan melangsungkan pernikahan. Dirinya tidak boleh egois, sudah ingin menikah, tapi masih ingin tetap bersama Hans. Ah, mungkin seorang Malya Syikal pantas disebut orang paling egois di dunia.
Setelah melewati lima pemberhentian, akhirnya Malya sampai dan langsung turun dari bis. Dari halte, ia sudah bisa melihat Hans yang menunggu sambil bersender di mobilnya. "Hans!" Malya memekik, dan berlari kecil menghampiri Hans.
"eehhh, tuan putri udah dateng?"
Malya terkekeh. "alay banget sih."
"yaudah kalo gak mau dipanggil tuan putri, aku panggil sayang aja, mau?" tanya Hans.
"panggil nama ajaaa, malu tahuuu."
***
Keesokan harinya. Malya dan Rizki mengadakan pertemuan lagi. Pernikahan mereka yang tiba-tiba, membutuhkan banyak diskusi. Apalagi Malya, yang jelas - jelas menerima perjodohan ini dengan terpaksa, tidak tahu kalau Rizki. "aku gak mau ada resepsi pernikahan, akad aja cukup," ujar Malya dengan nada sedatar-datarnya.
"kenapa gak mau? Itu kan hari bersejarah, hari bahagia—"
Malya berdecih, menyela ucapan Rizki. "hari bahagia kamu bilang?! Kamu pikir aku bahagia? Enggak Rizki, enggak! Aku gak bahagia sama sekali." "kamu udah menang, udah berhasil dapet restu dari orang tua aku. Sekarang, bisa kan? Kamu yang ngalah?"
Rizki mengangguk. Tanda ia menyetujui permintaan sang perempuan. "oke oke, itu bisa diatur. Sekarang, aku mau nanya. Kenapa sih kamu terus aja berusaha mempertahankan hubungan kamu sama cowok nasrani itu?"
"kalo kamu nanya itu. Bakal aku jawab, Hans itu sangat peduli sama aku. Dia yang dorong aku buat bertumbuh di saat aku jalan di tempat. Dia yang memotivasi aku buat mencapai semua mimpi-mimpi dan gak cuma hidup untuk main-main. Dia, si aneh yang selalu punya banyak cara untuk buat aku bahagia. Dan alhamdullilahnya, dia cinta sama aku, tanpa ada niat untuk berpisah," ujar Malya.
"kelihatannya, kamu bangga banget ya sama dia?"
Malya tertawa renyah. "ya jelas dong."
"Malya," panggil seseorang.
Baik Malya maupun Rizki sama-sama menoleh. Saat melihat siapa yang memanggil, reaksi Malya adalah terkejut. Bagaimana tidak? si pemilik suara tadi adalah Devin, dan laki-laki itu bersama Vania. Ah, mungkin pasangan itu tengah berkencan. Vania tampak kebingungan melihat Rizqi, wajahnya sangat asing untuk perempuan itu. "cowok ini siapa, Mal? jangan bilang lo selingkuh?" Vania mulai menerka-nerka.
Mendengar tuturan Vania, Rizqi pun tertawa. "selingkuh gimana? saya ini calon suami Malya, saya mengajaknya taaruf, dan langsung mendapat restu dari kedua pihak keluarga. Dua hari lagi, kami akan menikah. Sudah cukup jelas?"
Devin dan juga Vania memandangi Malya dengan tatapan kesal, kecewa juga mungkin. "gua gak nyangka lo bisa ngelakuin ini, Mal. Dari dulu, Hans yang selalu takut kalo dia yang bakal ngecewain lo. Dia itu amatir, gak punya pengalaman sama sekali, gak tahu jadi pacar yang baik, sebelum dia ketemu sama lo!" ujar Vania. Sedangkan Malya hanya menunduk dan bungkam, sesekali satu - dua bulir air mata jatuh dari pelupuk matanya.
"maaf, tapi ini bukan atas dasar kemauan aku juga," Malya berusaha memberi pengertian. "kalian, jangan kasih tahu Hans dulu ya? biar aku yang ngomong langsung tentang masalah ini."
Merasa jengah, Vania segera berlalu begitu saja keluar dari kafe. "selesaikan hubungan lo sama Hans, secepatnya," ujar Devin, lalu pergi keluar kafe juga menyusul Vania.
Sepeninggalan dua kawannya, Malya mengangkat kepalanya dan menatap Rizqi. "kenapa sih kamu harus hadir ke hidup aku? cari muka, cari perhatian ke orangtua aku? yang harus kamu tahu, aku gak pernah bahagia kalo bareng sama kamu. Laki-laki yang bisa buat aku bahagia dan ngerasa dicintai cuma dua, bapak aku sama Hans.”
***
JANGAN LUPA VOTE YA!
THANK YOU FOR READING!
KAMU SEDANG MEMBACA
Different | Hendery ( ✔ )
Fanfiction- Tuhan memang satu, kita yang tak sama - Di setiap hubungan pasti ada masalah sewaktu-waktu, apalagi hubungan beda agama. Saling menerima perbedaan dan saling toleransi bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ditambah lagi dengan pertentangan dan...