| 10 |

92 25 24
                                    

Kau satu terkasih
Kulihat di sinar matamu
Tersimpan kekayaan batinmu

Di dalam senyummu
Kudengar bahasa kalbumu
Mengalun bening menggetarkan

Kini dirimu yang selalu
Bertahta di benakku
Dan aku kan mengiringi
Bersama
Di setiap langkahmu

Percayalah
Hanya diriku paling mengerti
Kegelisahan jiwamu, kasih
Dan arti kata kecewamu
Kasih, yakinlah
Hanya aku yang paling memahami
Besar arti kejujuran diri
Indah sanubarimu, kasih
Percayalah

🎶 Bahasa Kalbu - Raisa, Andi Rianto 🎶

🎶 Bahasa Kalbu - Raisa, Andi Rianto 🎶

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“kamu jadi mau ambil kedokteran?”

Kini Hans dan Malya tengah makan di rumah makan pamannya Hans. Dua sejoli itu tidak terlalu menyukai kafe atau tempat makan yang terlalu kekinian untuk anak muda, selain karena porsi makanannya yang sedikit dan mahal, suasananya yang terlalu ramai juga membuat keduanya sangat tidak nyaman.

Malya menyeruput es teh manisnya, lalu mengangguk menjawab pertanyaan Hans. “jadilah. Aku udah milih jurusan buat SBMPTN. Kalo kamu? Jadi ambil psikologi?”

Hans mengangguk. “jadi dong.”

“kampus mana?” tanya Hans dan Malya bersamaan.

Keduanya tertawa kecil sebentar. Merasa lucu jika tak sengaja berbicara bersamaan dengan kalimat yang sama pula. “aku Universitas Indonesia sih,” ujar Hans.

“sama, aku juga Universitas Indonesia.”

Hans mengangguk-angguk. “hmm, kalo kita berdua sama-sama lulus SBMPTN, terus bisa kuliah di universitas yang sama. Fix, kita jodoh.”

Malya terkekeh. “kamu tuh ya, dikit-dikit jodoh. Emangnya kamu yakin kita akan berjodoh?”

“eummm...gak yakin sih. Tapi bisa kan, kita merajut kisah berdua dulu, sebelum bertemu jodoh masing-masing?” ujar Hans.

“seandainya, aku masuk islam hanya demi kamu. Tuhanku aja aku khianatin, apalagi kamu.”

Ujar Hans, yang selalu merasa bersalah karena garis takdir mereka yang berbeda.

Malya tersenyum pahit. “bener juga ya. Kalo Tuhan tidak berkehendak, semesta alam pun enggan. Lalu, kita ini apa? Pelawan takdir?” tanya Malya.

“ya...sembari menunggu pilihan Tuhan, untuk sekarang, jalanin aja dulu sama pilihan kita sendiri,” ujar Hans sambil memaksakan senyum.

***

Saat sampai di rumah. Malya dibuat bingung dengan kehadiran seorang pemuda tengah duduk di ruang tamu bersama sang bapak. “assalamualaikum,” setelah mengucapkan salam, Malya menghampiri sang bapak, dan mencium tangannya.

“waalaikumsalam...”

Malya melihat ke arah pemuda yang tampak tak asing baginya. “siapa ini pak?” tanya Malya. Ia mengambil posisi duduk di sofa lain yang masih kosong.

“kamu gak inget? Dia Rizki, temen sd kamu.”

Laki-laki yang bernama Rizki itu terkekeh. “maklum pak, udah lama gak ketemu. Wajarlah lupa,” ujar Rizky.

Ah, Rizki. Malya ingat, laki-laki itu teman sekelasnya selama enam tahun di sekolah dasar. Sayangnya, setelah lulus, ia tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Rizki. Yang ia tahu, setelah lulus, Rizki dan keluarganya pergi ke Dubai dan menetap di sana untuk sementara waktu. “ohhh Rizki...Malya inget kok. Dia itu kan, murid ambisius yang selalu pengen jadi ketua kelas,” ledek Malya.

Rizki mengangkat sebelah alisnya. “loh? Daripada seorang Malya Syikal? Murid yang gak kalah ambisiusnya tapi selalu kalah saing, dan berujung jadi wakil ketua kelas?”

“kamu ngeledek?!” tanya Malya.

“kamu duluan yang mulai, Malyaaa.”

Mulkis, bapak Malya tertawa sendiri melihat dua manusia yang  tengah meledek satu sama lain. “sudah sudah. Malya, kamu anter Rizki jalan-jalan di sekitar sini ya,” ujar Mulkis.

Awalnya Malya ingin menolak. Tapi, sepertinya bukan hal yang bagus. Jadi terpaksa Malya mengiyakan. “iya, pak.”

Malya dan Rizki pun sama-sama beranjak, dan menyalami tangan Mulkis. “assalamualaikum, pak,” ujar keduanya, bersamaan.

“enaknya kemana nih?” tanya Rizki, sambil menjalankan mobilnya.

“hmmmm...muter-muter di jalan aja.”

Drrtt...Drrtt...

Ponsel Malya berdering. Melihat nama Hans yang tertera di layar, Malya langsung menjawabnya. “halo? Kenapa Hans?”

“besok aku gak bisa nganter kamu, buat ke pameran buku itu”

Mendengar itu, raut wajah Malya menjadi muram. “yahhh kenapa??? Besok kan hari terakhir”

“aku ada ibadah syukur, bisa dibilang kayak syukuran gitu dehh”

“emang ibadahnya penting? Aku kira yang wajib ibadah raya pas hari minggu doang,” ujar Malya, merasa sedikit (?) kesal.

“Mal? Semua ibadah ya penting dong. Lagian kamu kenapa sih?”

Malya memandang keluar jendela mobil, ia menghembuskan napas pendek. “gak apa-apa. Tapi lama-lama, capek juga ya—”

“kenapa? Kamu udah gak bisa nerima perbedaan di antara kita lagi? Gitu, Mal?”

Satu bulir air mata akhirnya berhasil lolos dari pelupuk mata Malya kala mendengar suara lembut nan tenang itu mengucapkan kalimat yang membuat hatinya serasa dihujami pisau. “enggak gitu, Hans. Aku cuma capek aja, berjalan bersama tapi cara berjalan kita beda. Ibaratnya, aku berjalan tertatih dengan satu kaki, dan kamu merangkak.”

“kalo gitu, gimana kalo kita istirahat dulu? Nanti lanjutin perjalanan lagi. Jangan nyerah sekarang, bisa kan?”

“hmmm...”

Malya mengakhiri panggilan teleponnya, dan mengusap matanya yang sedikit berair. “kenapa? Berantem sama pacar?” Malya menoleh ke arah Rizki, yang baru saja bertanya.

“iya.”

Rizki terkekeh pelan. “pacar kamu non muslim?”

Lagi-lagi Malya menjawab iya.

“katanya kamu capek sama hubungan yang sekarang, kenapa gak berhenti aja?”

Malya mendengus kesal. “suka-suka lah.”

“aku cuma kasian aja sama pacar kamu. Udah sayang, udah melakukan semua yang terbaik buat kamu, eh ternyata cuma jagain jodoh orang,” ujar Rizki, sambil terkekeh. “atau aku datengin aja ya si Hans itu? Aku suruh mundur, karena jodoh Malya udah ada di sini.”

“ehhh awas aja ya kamu macem-macem!”

Rizki memandang Malya dengan tatapan remeh, sekaligus meledek. “kenapa sih maksain banget buat mempertahankan hubungan kalian yang salah itu? Toh, ujung-ujungnya, kalian adalah sementara yang gagal menjadi selamanya.”

***

JANGAN LUPA VOTE YA!

THANK YOU FOR READING!

Different | Hendery ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang