| 07 |

107 27 20
                                    

Di sebuah kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sebuah kafe. Terlihat dua orang di sudut ruangan yang sepertinya tengah diselimuti rasa canggung. Itu Vidiya dan Ray. Sudah hampir lima belas menit, keduanya tak ada yang membuka suara. Si perempuan asik memakan kuenya, si laki-laki asik menyeruput es kopinya. “jadi maksud kamu ngajak aku kesini buat apa?” setelah kuenya habis, Vidiya pun menaruh fokusnya pada Ray.

Mengikuti Vidiya, Ray juga menaruh gelas berisi es kopinya di meja. Laki-laki itu menghembuskan napas panjang, berusaha memantapkan keraguan di hatinya. “Vidi, lo tahu kan kita udah deket dari lama?” tanya Ray.

Vidiya mengangguk. “iya, lalu?”

“dan kayaknya gue...punya rasa ke lo. Terus perasaan lo ke gue gimana?”

Tanpa berpikir lama, Vidiya dengan cepat merespon. “eumm...sebenernya aku juga ada rasa sih sama kamu, tapi sedikit,” jawab Vidiya.

Ray mengernyit bingung. “sedikit?”

“iya, sedikit berlebihan hehe.”

Yeuhh bisa aja sendal jepit...

Keduanya terdiam sebentar, detik berikutnya langsung tertawa. Ray tertawa karena menurutnya itu lucu dan sedikit menggemaskan, sedangkan Vidiya tertawa karena menertawakan leluconnya sendiri. Vidiya? Anda sehat?

Setelah puas tertawa. Ray kembali teringat dengan tujuannya; mengajak Vidiya pacaran dan memperjelas status hubungan mereka. “lo mau kan jadi pacar gue?” tanya Ray. Sedikit merasa takut dengan jawabannya.

Vidiya mengangguk, sambil tersenyum malu.

“thanks ya. Gue harap, gue bisa jadi salah satu alasan dari senyum bahagia lo.”

***

Di tempat lain. Lebih tepatnya di rumah Devin. Hans tengah bergerak mondar-mandir sambil sesekali berdecak kesal saat panggilan teleponnya lagi-lagi tidak dijawab oleh Malya. Semua pesannya juga hanya dibaca, diabaikan, dan tak dibalas. “ribet deh kalo gini,” gumamnya.

Kedua temannya; Devin dan Yandra memandangi dengan tatapan kesal. Masalahnya, Hans langsung menjadi tidak waras setiap kali berselisih paham dengan Malya. Contohnya seperti sekarang, sedari tadi laki-laki itu mengoceh tidak jelas. “udah tenang aja, Vania lagi nyoba ngomong ke Malya,” ujar Devin. Guna menenangkan temannya yang bucin tingkat dewa itu.

Hans langsung duduk di sebelah Devin. “yang bener? Ntar bohong lagi.”

“iya, dah lu tunggu aja,” ujar Devin lagi.

Tak lama setelah Devin menyelesaikan ucapannya, ponsel Hans berbunyi. Si empunya pun melihat nama yang tertera di layar ponsel, ternyata yang menelepon adalah Malya. Tanpa pikir panjang, Hans langsung menjawab teleponnya. “halo sayang—eh Malyaa...” Yandra dan Devin yang mendengarnya berlagak ingin muntah.

“Hans, aku mau minta maaf. Maaf ya udah marah gak jelas sama kamu”

“iya aku maafin. Tapi lain kali, jangan asal menyimpulkan sendiri ya. Seenggaknya dengerin penjelasan aku dulu tadi, biar gak salah paham”

“iya aku sadar, aku salah. Jadi orang cemburuan banget, tukang ngambek, sering negatif thingking”

Hans mengulas senyum samar. “hehe bagus deh kalo kamu nyadar—”

“ohhh jadi aku kayak gitu ya di mata kamu?!”

“eh ehhh gak gitu maksudnyaaa”

Telepon pun diakhiri sepihak oleh Malya.

Yandra menggeleng heran. “tuh, walaupun buat lo Malya itu beda dari perempuan lain, tapi tetep aja naluri-naluri seperti spesiesnya yang lain masih ada brouuu,” ujar Yandra sambil terkekeh.

Hans menghiraukan ujaran Yandra. Dengan buru-buru ia memakai jaketnya, hendak ke rumah Malya. “gue pamit ya, mau menjalankan tugas negara,” ujarnya dan langsung berlari keluar dari rumah Devin.

***

Di tengah perjalanan. Hans berhenti sebentar di minimarket, ia ingin membeli beberapa makanan ringan dan minuman untuk sang pacar. Dengan cepat, Hans menyelesaikan kegiatan belanjanya dan membayar. Setelah selesai, ia langsung menuju rumah Malya. Yang ada di pikirannya kali ini hanya Malya, Malya, dan Malya.

Sesampainya di tempat tujuan, Hans langsung mengetuk pintu rumah Malya. Tak lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok perempuan dengan kepala yang dibalut kerudung sederhana. “ngapain kamu?” tanya si tuan rumah.

Hans mendengus. “mau numpang makan! Ya mau ketemu sama kamu lah, pake nanya lagi.”

Melihat raut wajah Malya yang terlihat sedang badmood, Hans pun memberikan kantong berisi makanan ringan yang tadi ia beli. “nih aku beliin buat kamu.”

Malya mengulas senyumnya, dan mengambil alih kantong plastik dengan logo minimarket itu dari tangan Hans. “silahkan masuk dulu, paduka. Di luar hujan tuh, apa gak dingin?”

Kerja bagus, Mal...

“terimakasih pelayanku yang bai—”

Plak!!! Belum sempat Hans menyelesaikan perkataannya, Malya sudah memukul lengan laki-laki itu dengan cukup keras, dan berhasil membuat sang empunya meringis. “cepetan masuk!” ujar Malya.

Hans langsung mendudukkan dirinya di sofa, sementara Malya membuatkan teh hangat karena Hans sedikit kehujanan. “ibu bapak kamu belum pulang?” tanya Hans.

“ya kamu lihat sendiri dong. Di garasi gak ada mobilnya, di rumah juga aku sendiri. Itu tandanya belum pulang!”

“ratu kenapa sih marah-marah mulu? Ratu masih marah ya sama raja?” ujar Hans. Meledek.

Benar saja. Karena tingkah Hans barusan, satu bungkus roti berhasil melayang dan mengenai wajahnya. “jangan banyak tingkah, tuh minum teh angetnya!” Malya menatap Hans dengan kesal. Tapi hanya berpura-pura.

Tangan Hans mengambil gelas berisi teh hangat yang tadi dibuat oleh Malya. Ia meniupnya sebentar, dan menyeruput sedikit. Hmm, rasanya sama seperti teh pada umumnya. “kok rasa tehnya aneh ya?” tanya Hans. Berbohong.

“aneh gimana?”

“iya, kayak ada manis-manis cintanya gitu.”

***
JANGAN LUPA VOTE YA!

THANK YOU FOR READING!

Different | Hendery ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang