- Tuhan memang satu, kita yang tak sama -
Di setiap hubungan pasti ada masalah sewaktu-waktu, apalagi hubungan beda agama. Saling menerima perbedaan dan saling toleransi bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ditambah lagi dengan pertentangan dan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Paginya. Malya dan Hans sarapan bersama. Tadi sekitar jam setengah enam pagi Malya mendapat kabar dari kedua orangtuanya jika akan pulang nanti malam. “aku mau ke gereja, kamu sendirian nanti, gimana dong?” tanya Hans.
Malya mengulum bibirnya dan terdiam sebentar. “gak apa-apa, nanti temen-temen aku kesini kok.” sejujurnya ia ingin Hans menemani sampai teman-temannya datang, tapi nanti Hans bisa telat.
“serius? Yaudah aku berangkat ya,” Hans pun membereskan piringnya, memakai jaketnya dan helm. “nanti selesai ibadah, aku langsung kesini.”
Malya memaksakan senyum dan mengangguk. “iya, Hans. Hati-hati ya, jangan ngebut,” ujar Malya.
Melihat Hans keluar, ia juga beranjak dari meja makan. Dari pintu, dapat ia lihat Hans menyalakan mesin motor dan bergegas meninggalkan halaman rumahnya. Setelah laki-laki itu tak terlihat lagi dari pandangan, Malya menghela napas pendek. Baru tadi ia merasa senang karena Hans mengingatkannya untuk shalat subuh, merasa tak ada lagi tembok besar yang berdiri kokoh di antara keduanya, tapi sekarang sudah tertampar kenyataan lagi. Tembok besar itu masih berdiri kokoh, masih memisahkan dirinya dan Hans di ruang yang berbeda.
Tok! Tok! Tok!
“Malya! Assalamualaikum!”
Malya melihat ke arah pintu. Ia tersenyum lebar, dan langsung menghampiri Vidiya dan Megie yang datang. “ayo ayo masuk, makasih ya udah mau dateng nemenin.”
“iya sama-sama. Lagian sekalian main juga,” ujar Vidiya.
Setelah menyuruh kedua temannya duduk, Malya langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan minum. “air putih aja ya, masih pagi, gak boleh minum yang macem-macem,” Malya menaruh nampang berisi tiga gelas air putih di meja.
Megie mengambil satu gelas, dan meneguknya sampai habis. “makasih, Mal. Tau aja lagi haus,” ujar Megie sambil terkekeh.
“oh iya, Hans mana?” tanya Vidiya.
“kamu lupa? Ini kan hari minggu, dia ke gereja lah,” jawab Malya.
Vidiya menepuk jidatnya. “eh iya ya, pantes Vania gak bisa ikut, kan harus ke gereja. Duh lupa.”
Akhirnya ketiga perempuan itu terlarut dalam obrolan. Mulai dari cerita Megie yang lucu, cerita Vidiya yang sedikit membuat kesal, sampai cerita Malya yang mengesankan. Tentu saja Malya menceritakan kejadian tadi pagi. Saat Hans membangunkan dan menyuruhnya shalat.
Megie dan Vidiya ikut terenyuh setelah mendengar cerita Malya. Keduanya tak pernah berpikir Hans akan melakukan hal seromantis itu. “tuh kan, hal-hal romantis bukan sekedar pegangan tangan, pelukan, atau lain-lainnya, Mal. Sekarang kamu ngerti kan? Hans itu punya cara tersendiri,” ujar Vidiya.
Megie mengangguk setuju. “iya ih. Hans gak mau gandeng tangan, gak mau cubat cubit pipi, bukan karena dia malu punya pacar kayak kamu. Tapi, kan di dalam agama emang gak boleh kalo belum mukhrimnya. Dan cara dia bikin kamu seneng tuh beda dari cowok lain, aku sama Vidiya belum tentu bisa ngerasain hal yang sama.”
“bener. Hans emang beda dari cowok lain.”
***
“Hans!”
Sang empunya nama pun menoleh, melihat sekeliling, mencari orang yang memanggil namanya tadi. Tapi nihil, semua orang yang ada di parkiran tampak sibuk dengan kendaraan masing-masing. Ah mungkin orang iseng, pikirnya. “dorrr!” pekik seseorang, bersamaan dengan dua tangan menepuk bahunya.
Hans menoleh, dan melihat seorang perempuan berambut sebahu yang mungkin tadi memanggil namanya. “eh Aurora? Kenapa nih?”
Si perempuan yang dipanggil Aurora itu mengulum bibirnya, tampak sedikit ragu. “eum...maaf kak, aku boleh nebeng pulang bareng gak?” tanya Aurora. “mama aku sakit, jadi aku ke gereja sendiri deh. Tadi aku berangkat sama pak Albert sih, tapi keluarganya mau pergi ke Bogor. Aku gak enak minta tolong buat dianterin pulang.”
Hans tampak berpikir. Ingin mengiyakan tapi ragu dan takut membuat Malya marah jika tahu, di sisi lain ingin menolak tapi tak enak hati. Tiba-tiba saja, tangan Hans dipegang oleh Aurora. “kakkk tolong ya kak, aku gak tahu mau pulang bareng siapa lagi,” ujar Aurora sambil memohon.
Merasa tak nyaman tangannya dirangkul, Hans pun terpaksa mengiyakan. “iya iya, yaudah jangan pegang-pegang kayak gini dong. Ini di gereja, gak enaklah dilihatnya.”
Tak ingin mengulur waktu, Hans langsung menyalakan mesin motornya, dan bergerak keluar dari barisan motor lainnya yang terparkir. “naik,” suruh Hans pada Aurora. Keduanya pun langsung melesat keluar dari kawasan gereja.
“kak Hans mau aku traktir makan dulu gak?”
Tanpa pikir panjang Hans menggeleng, menolak mentah-mentah tawaran Aurora. “enggak, makasih. Udah ada janji sama pacar nih, gak enak kalo telat.” jawaban Hans berhasil membuat Aurora mendengus kesal.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit, akhirnya sampai juga di rumah Aurora. Dengan anggun, Aurora turun dari motor Hans sambil merapikan rambutnya. “makasih ya kak. Maaf ngerepotin.”
Hans mengangguk dan tersenyum tipis. “iya sama-sama. Semoga mama kamu cepet sembuh ya. Oke see you!” tanpa menunggu balasan dari Aurora, Hans langsung menancapkan gas motornya dan bergegas ke rumah Malya.
Tak butuh waktu lama, hanya sepuluh menit untuk sampai karena Hans mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Hans mengintip sedikit rumah Malya karena pintunya terbuka lebar. “loh? Lagi pada ngumpul nih?” tanya Hans. Saat melihat teman-temannya; Devin, Ray, dan Yandra juga tengah berkumpul dengan teman-temannya Malya; Vidiya, Megie, dan Vania.
Anehnya, kehadiran Hans tampak tidak disambut baik. Malya saja menghampiri Hans dengan wajah datar tanpa ekspresi dan kedua tangan yang dilipat di depan dada. “kamu darimana? Kok baru dateng? Vania, Ray, Devin yang satu gereja sama kamu aja udah dateng dari dua puluh menit yang lalu. Kamu kemana dulu tadi?”
Hans tersenyum kikuk. “eum...aku...”
“nganterin pacar kamu pulang? Iya?!”
“h-hah?” kebingungan Hans belum terjawab. Malya langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Hans yang tadinya memandangi pintu kamar Malya, beralih memandangi teman-temannya. “kalian kenapa gak bantu jelasin sih?!” tanya Hans dengan kesal.
Vania, Devin, dan Ray menghela napas berat dengan bersamaan. “tadinya mau ngasih penjelasan, tapi lo keburu dateng,” ujar Ray. Jujur.