| END |

196 20 17
                                    

Di kafe yang cukup sepi, dua sejoli duduk di pojok ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di kafe yang cukup sepi, dua sejoli duduk di pojok ruangan. Sedari dua puluh menit yang lalu, tak kunjung ada yang membuka suara. Si perempuan yang tadinya berniat menyampaikan sesuatu, mendadak ragu, dan mengurungkan niatnya setelah hampir seharian meyakinkan diri. Si laki-laki pun sama, sebenarnya ia sudah tahu mengapa si perempuan mengajaknya bertemu, tapi ia memilih diam saja, dan membiarkan si perempuan yang jujur sendiri tanpa harus dipancing.

"Hans..." Malya mengeluarkan kartu undangan dari dalam tasnya, dan menyodorkannya pada Hans. "maaf," lirih Malya, sambil mengusap air matanya. Tadinya ia berniat untuk tidak menangis, tapi nyatanya ia tidak bisa.

Hans menghembuskan napasnya kasar. Laki-laki itu mengambil undangan yang tadi diberikan oleh Malya. Setelah beberapa detik melihat isi undangannya, Hans langsung menaruh undangan pernikahan itu kembali di atas meja. "gak apa-apa, ini udah waktunya kita istirahat masing-masing, udah saatnya kita nyari yang sejalan sama kita. Jalan kita udah beda, kan? Gak apa-apa, aku ngerti sampe kapanpun kita emang gak bisa nyatu. Udah jangan nangis."

Malya mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap mata Hans. Ah, matanya penuh kekecewaan. "lima tahun kita, berhenti disini?" lagi-lagi air matanya jatuh lagi.

"ya mau gimana lagi? Besok kamu udah nikah."

"Malya..." Hans menatap lekat wajah perempuan yang ada di hadapannya kini. "walaupun aku bukan seseorang yang kamu pilih sebagai tujuan akhir, seenggaknya kita pernah sama-sama mengupayakan takdir. Iya, kan?"

Hans melihat keluar kafe, dan tak sengaja matanya menangkap sosok Rizki. "udah kan selesai? Tuh udah ada Rizki calon suami kamu di depan, aku duluan ya. Semoga hari pernikahan kamu lancar, dan cepet dikasih momongan. Dah, Malya"

Setelah berjalan sedikit jauh, Hans menengok sebentar, tapi tak lama ia melanjutkan langkahnya lagi. Sedikit tidak rela rasanya, melihat perempuan yang mampu mengubah jalan hidupnya harus menikah dengan orang lain. Seharusnya Hans dapat berpikir sedari awal, jika pada akhirnya mereka hanyalah dua manusia yang saling mengulur waktu untuk tidak berpisah.

Lima tahun mereka,

Berhenti dan berakhir disini.

***

"makasih, assalamualaikum."

Tanpa menunggu balasan dari Rizki, Malya langsung keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Dengan lunglai, perempuan itu berjalan ke kamarnya dan berbaring di kasur. Ia masih tidak puas dengan perpisahan tadi. Sudah? Begitu saja? Cerita cinta lima tahun selesai dengan mudahnya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh menit. Malya membuang napas kasar, lalu dengan tidak tahu dirinya ia malah menelepon Hans.

"kenapa lagi, Mal?"

Malya terdiam sejenak. "kita beneran udah selesai nih?" tanya Malya.

"iya."

Malya menghembuskan napas kasar, baru tadi putus langsung cuek, dih. "mau ngomong sebentar, boleh?"

"yaudah, ngomong aja."

Setelah sedari beberapa jam yang lalu ia menahan sesak, akhirnya ia berserah saja, dan melakukan usaha terakhirnya. "kata orang, kalo mau sesuatu jadi milik kita, sholawatin aja dulu. Dan ini jadi usaha terakhir aku sekarang," lalu Malya bersholawat

"Mal?"

"hmmm...maaf. Aku lupa, kita beda."

"Mal, udahlah, takdir emang begini maunya untuk kita. Maaf kalo hadir aku banyak menyisakan luka ya? Lekas membaik hatimu cantik, jaga diri baik-baik ya? Doa aku masih sama buat kamu, semoga kamu bahagia selalu ya."

— SELESAI —

Udah? Yaudah gitu aja.

Terimakasih yang udah baca.

Jangan nungguin ceritaku yg lainnya ya,

Karena gembelnya akan sama seperti cerita ini ;)

Bye-bye ~~~

Different | Hendery ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang