04. Insiden

1.1K 191 34
                                    

Bahu Cessa terguncang kasar membuat gadis itu berganti posisi nyaman dengan mata masih tertidur pulas.

"Bangun pemalas!"

Gadis itu terkejut lalu terbangun saat suara pekikan menelusup masuk digendang telinganya. Dihadapannya Five menghela nafas lega setelah berhasil membangunkan Cessa, lalu bangkit keluar dari mobil membuat gadis itu kelimpungan mengimbangi karena tarikan dari tali mereka.

"Pelan-pelan hoawh," balas Cessa menguap. Dia mengedipkan matanya berkali-kali dan berjalan lunglai mengikuti Five.

Ketiganya berhenti didepan sebuah toko. Entahlah. Toko, rumah Cessa tidak tahu dan tidak peduli. Siang sudah berganti malam membuat suasana entah kenapa menjadi menakutkan, apalagi tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.

Gadis itu memilih jongkok saat Diego berusaha membuka pintu. Rambutnya berantakan, matanya kembali tertutup, beberapa kali hampir terjatuh karena terlelap.

Tangan Cessa ikut tertarik saat Five bersandar dan berniat memasukkan kedua tangannya disaku celana.

Gadis yang masih setengah sadar itu ikut menarik tangannya membuat Five terkejut lalu menatapnya malas.

Cessa tak peduli, menumpu tangan diatas paha dan menenggelamkan wajah berniat tidur kembali. Five dan Diego mengobrol tentang kiamat. Ah sudahlah semuanya terdengar tak masuk akal. Semuanya, termasuk bahwa Cessa sudah ikut-ikutan bertemu ayah mereka.

Gadis itu menengadah, "Bisahkah aku tinggal dimobil saja. Aku masih mengantuk."

Five menatapnya, "Tidak."

Cessa berdecak lalu berdiri, memperbaiki ikatan rambutnya membuat tangan Five tergantung keudara. Setelahnya, pemuda itu mengenggamnya.

Cahaya biru muncul, dan keduanya sudah berada didalam rumah. Cessa tersentak kaget. Entah kenapa merasa mual, sudah dua kali ikut berteleportasi. Rasanya dunia berputar saat cahaya biru itu muncul. Pegangan Five lepas dan membuka pintu membiarkan Diego masuk.

"Benar, aku harus ingat itu," ujar Diego lalu masuk kedalam.

Five mencoba menyalakan lampu dimeja membuat ruangan gelap itu sedikit terang, tapi beberapa menit kemudian kembali gelap.

"Sial. Kurasa ayah tidak suka dekorasi rumah," celetuk Diego.

Cessa sendiri sudah was-was. Benci berada ditempat gelap yang selalu mengingatkannya pada film horor.

Tangannya tertarik saat Five menjauh, "Ini sepertinya kedok," ujarnya meraih sesuatu dimeja.

Diego menoleh, "Kedok untuk apa?"

Cessa mengangkat bahu padahal dia tahu pertanyaan itu tidak diperuntukkan untuknya. Five menengadah, "Entahlah."

"Aku ke kiri," perintah Diego membuat Cessa melotot, "Kau meninggalkanku bersamanya?" tanya Cessa. Diego tertawa pelan lalu menepuk kepalanya santai, "Percayahlah, walau menyebalkan Five tidak seburuk itu."

Diego lalu memandang Five, "Teriaklah jika ada masalah."

"Ya. Kita punya ahlinya," balas Five melirik Cessa yang masih mencibir. Keduanya memasuki sebuah lorong yang mengingatkannya lagi pada film horor membuat Cessa malah mendekat pada Five.

"Bisahkah aku menunggu dimobil saja?" tanyanya memegangi rompi Five dengan pandangan waspada menyapu seisi lorong.

"Tidak."

Pemuda itu melirik sebentar, mengamati Cessa yang sibuk meremas ujung rompinya dengan wajah pucat.

Dia membuka sebuah pintu pertama disisi kanan lorong yang untungnya tidak terkunci. Dia mendorong pintu dan tangan kirinya memencet tombol lampu lalu masuk.

𝐂𝐨𝐟𝐟𝐞 𝐁𝐫𝐞𝐚𝐭𝐡 - Five HargreevesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang