Chapter Fourteen✨

92 18 15
                                    

Ares lagi-lagi menghabiskan waktunya untuk menangis sepanjang hari di dalam kamarnya. Beberapa hari yang lalu, gadis itu menangisi perihal berakhirnya hubungan antara dirinya dengan Raden. Namun, kali ini berbeda. Gadis itu menangisi perihal pertengkaran antara dirinya dengan Rea, sahabatnya.

Ia tak habis pikir dengan masalah yang datang menerpa dirinya, seolah semesta tak mengizinkan dirinya untuk bernapas dengan bahagia sejenak.

Ares kini sedang duduk di bangku taman belakang sekolah. Ares sedang memikirkan, mengapa bisa Rea yang notabenenya sahabat terbaiknya lebih percaya kepada orang lain? Padahal, apa yang Rea dengar dari orang lain itu jelas-jelas salah. Bukan Ares yang mengakhiri hubungannya dengan Raden, akan tetapi Raden lah yang mengakhiri.

Ares menyenderkan tubuhnya di bangku, lalu memejamkan matanya sejenak. Berharap, setelah ia membuka matanya nanti, semua masalahnya akan menghilang tanpa tersisa.

"Ares."

Ares yang merasa panggilan itu ditujukan untuknya, langsung membuka mata. "Zilva?"

Ares melihat Zilva dengan terheran, sejak kapan sahabatnya itu duduk di sampingnya? Seingatnya tadi ia hanya duduk sendirian. Lagipula, jika memang Zilva baru saja datang dan duduk, seharusnya terjadi sedikit guncangan di bangkunya karena berat badan Zilva.

Ah iya, Ares baru teringat, Zilva memiliki postur tubuh yang mini, dan juga berat badan yang cukup ringan. Jadi, tidak mungkin ada guncangan yang diakibatkan oleh Zilva. Berbeda dengan Rea, yang sebenarnya juga postur tubuhnya kecil, namun keaktifannya membuat bangku yang ia duduki selalu berguncang.

Berbicara soal Rea, Ares jadi rindu sifat Rea yang super aktif. Sahabatnya satu itu memiliki jiwa bersosialisasi yang amat tinggi. Gadis itu pandai berbicara sehingga hanya dalam waktu sekejap, gadis itu sudah dapat memiliki teman baru.

"Res? Kok bengong?" Zilva melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ares.

"Eh, iya Zil? Kenapa?" tanya Ares yang baru sadar dari lamunannya.

"Justru seharusnya aku yang nanya, kamu kenapa bengong aja tadi?"

"Ehm, aku enggak apa-apa kok."

"Kamu pasti lagi mikirin Rea, kan?" tebak Zilva. Ares mengangguk sebagai balasan.

'Aku udah tahu, pasti kamu lagi mikirin soal Rea,' batin Zilva.

"Kamu gak usah telalu mikirin Rea, toh nanti dia juga baikan lagi," ucap Zilva tersenyum.

"Yang aku gak habis pikir, kenapa bisa Rea lebih percaya sama orang lain daripada sama aku, sahabatnya sendiri?"

"Ya, mungkin Rea lagi hilang kepercayaan sama kita, entah dikarenakan oleh hal apa. Jadi, saran aku ya, tunggu aja kitanya sampai kepercayaan Rea utuh lagi."

"Iya, Zil. Mungkin kamu benar, Rea perlu waktu," ucap Ares tersenyum.

•••

Ares melangkahkan kakinya di koridor kelas, alunan musik yang terdengar dari headsetnya membuat Ares berjalan dengan pelan untuk menikmati musiknya. Tatapan matanya ikut menjelajahi sisi kiri dan kanan koridor.

"Eh, coba lihat si Ares. Kasihan banget ya dia, dijauhi sama sahabat-sahabatnya." Ucapan itu masuk ke telinga Ares, sesaat setelah Ares mengecilkan volume suara ponselnya.

Ares mengedarkan pandangannya, mencari sang pemilik suara. Pandangannya terhenti pada segerombolan teman perempuan seangkatannya. Segerombolan perempuan itu berbisik-bisik sambil mencuri-curi pandang ke arah Ares, membuat Ares semakin yakin bahwa mereka sedang membicarakan Ares.

ESTETIKA [Completed ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang