Chapter Twenty Seven ✨

93 18 8
                                    

Di balik jeruji besi, seorang perempuan tengah meraung histeris. Perempuan itu berada di sana karena merupakan sumber dari kecelakaan yang terjadi kepada mama Ares. Ares tidak menyangka, ternyata perempuan yang dipikirkan olehnya ialah sama dengan perempuan yang akhirnya berada di jeruji besi itu. Yang lebih tidak Ares sangka ialah perempuan jahat itu sahabatnya sendiri.

Perempuan itu ialah Rea. Rea, sahabatnya Ares yang selama beberapa bulan terakhir mempunyai masalah dengan Ares. Ares tidak menyangka, Rea tega berbuat sejahat ini.

“Re, kenapa kamu tega sih ngelakuin ini semua sama aku?” tanya Ares sambil terisak. Anan yang berada di samping Ares, mengelus bahu gadis itu dengan lembut. Tidak ada sahutan dari Rea dari dalam sana. Gadis itu yang tadinya membuat keributan di dalam sel, justru sekarang terdiam sambil asyik melihat kuku panjang berwarnanya. Gadis itu berlagak seolah tidak mendengar apa-apa dari ucapan Ares.

“Kamu tahu kan, Re? Aku udah terbiasa tinggal sama mama di rumah, terlebih aku anak semata wayang. Aku gak punya saudara. Papa aku sering ke luar kota. Kalau kamu buat mama aku pergi dari dunia ini, trus aku gimana, Re?”

“Aku tahu, kamu gak suka sama aku. Aku tahu, kamu benci sama aku. Tapi enggak dengan cara kayak gini kamu ngebalas aku. Jangan kamu buat aku kehilangan mama aku untuk selamanya.”

“Re, aku minta maaf kalau selama ini kita ada masalah yang kemudian membuat kamu benci sama aku. Aku minta maaf.”

Ares terus berucap, mengeluarkan semua isi hatinya. Akan tetapi, Rea tidak sama sekali bersua untuk menjawab.

“Re, jangan diam aja dong,” ujar Ares.

“Udah ngomongnya?” ketus Rea.

“Kok kamu tanyanya gitu?”

“Berisik tau gak? Daritadi nyerocos terus, mau pecah kepala gue.”

“Re, kamu apa-apaan sih? Ares tanya kamu secara baik-baik, kenapa kamu jawabnya kayak gitu?” Kini giliran Anan yang bersuara. Lelaki itu sedari tadi menahan emosinya ketika Rea tak kunjung menjawab Ares, dan kini Rea malah menjawab dengan ketus.

“Iya iya. Kalau gitu gue jawab baik-baik. Emangnya apa sih yang perlu gue jawab? Kejadiannya udah terjadi juga.”

“Setidaknya minta maaf sama Ares. Kamu gak merasa bersalah sama sekali karena udah buat Ares kehilangan mamanya?”

“Maaf? Ngapain gue minta maaf, toh kalau gue minta maaf, percuma. Semua udah terjadi, maaf gue gak bakalan bisa kan ngembaliin orang yang udah gak ada?”

“Rea!” bentak Anan. Kali ini Anan rasa Rea sudah keterlaluan. Mungkin memang benar ucapan Rea, jika ucapan maafnya tidak akan bisa mengembalikan seseorang yang telah tiada. Namun, tidak sepantasnya Rea berucap seperti itu. Apa salahnya jika gadis itu meminta maaf?

“Udah, Nan. Kalau Rea gak mau jawab, kita gak usah maksa dia. Ayo, kita pulang aja.” Ares menarik lengan Anan pergi dari tempat mereka berada tadi. Ares tidak mau Anan terbawa emosi, meski jika boleh jujur ia sedikit tersinggung dengan ucapan Rea.

“Res, Rea itu perlu dikasi sedikit pencerahan. Ucapannya itu semakin gak terkontrol dan makin kurang ajar,” kesal Anan.

“Udahlah Nan, biarin aja. Dengan kita tekan dia kayak gitu, nanti malah dia stress.”

•••

Kelap-kelip bintang yang beredar di langit berwarna hitam, memberi tanda bahwa hari sudah malam. Kedinginan yang menusuk hingga ke tulang, tak membuat Ares berniat pergi masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu masih nyaman berdiri di balkon kamarnya.

“Ma, kenapa mama secepat ini tinggalin Ares? Mama udah gak sayang sama Ares? Maaf, Ma kalau selama ini Ares belum jadi anak yang baik untuk mama.”

Ares melihat gelang berbahan titanium yang melingkar di tangannya. Gelang itu ialah pemberian mamanya di ulang tahunnya yang ke 17.

“Ma, Ares kangen sama mama. Ares kangen saat-saat mama peluk Ares, saat mama tegur Ares, marahin Ares karena berbuat salah. Ares juga kangen saat-saat kita berlibur bersama papa di pantai. Ares kangen saat mama ambilin rapor Ares dan lihat ekspresi bangga mama. Ares kangen semua itu, Ma.” Ares menyeka air matanya yang sudah mulai luruh.

“Maaf, Ma. Ares gak bisa sekuat dan setangguh yang pernah mama ajarkan untuk Ares. Maaf, Ma. Ares nangis sekarang. Ares gak kuat, Ma. Ares gak kuat kehilangan mama. Ares gak sanggup.” Ares masih terisak dalam tangisnya.

Pandangan gadis itu masih bertahan di kelap-kelip bintang yang menghiasi langit. “Ma, apa mama ada di salah satu bintang yang bertabur di atas sana? Kalau iya, Ares janji akan selalu nyempatin waktu Ares untuk ngelihat mama di atas sana.”

“Ma, satu hal yang perlu mama tahu, Ares kangen banget sama mama. Ares sayang mama, selama-lamanya.” Ares tersenyum manis, seolah mamanya berada di dekatnya saat ini.

•••

“Res,” panggil Sasa kepada Ares.

“Iya, Sa. Ada apa?”

“Aku cuma mau bilang, kamu yang sabar ya. Aku tahu, berita meninggalnya mama kamu itu udah berat banget buat kamu. Ditambah lagi, soal pelaku yang berada di balik kejadian ini semua. Aku benar-benar gak nyangka Rea berani berbuat senekat itu.”

“Kamu tahu soal itu?”

Sasa mengangguk.

“Tahu darimana?”

“Informasi  tentang Rea masuk penjara itu menyebar luas di berita, Res. Kamu gak ingat? Ayahnya Rea kan pemilik perusahaan ternama. Jadi, berita anaknya yang menjadi dalang kecelakaan mama kamu itu dengan mudah tersebar luas di kalangan media.”

“Oh gitu ya.” Jujur saja, akhir-akhir ini Ares jarang membuka televisi untuk sekadar menonton berita. Jangankan televisi, ponselnya saja sudah hampir seminggu tidak ia sentuh.

“Iya, Res. Kamu harus kuat ya. Aku yakin, dibalik semua masalah ini, pasti akan ada hikmah yang bisa kamu petik.”

Ares tersenyum menanggapi ucapan semangat dari Sasa. “Makasih banyak ya, Sa. Kamu selalu berusaha berikan aku sedikit kekuatan, walaupun selama ini kita gak dekat-dekat amat.”

“Ya, namanya juga kita teman sekelas. Kalau ada seseorang yang tengah terpuruk, tugas teman yang lain ya harus menguatkan. Toh, selama ini walau kita gak dekat sebagai sahabat, kamu udah banyak bantu aku dalam memahami materi pelajaran. Jadi, mungkin sekarang aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pemberi semangat untuk kamu. Anggap aja ini sebagai rasa terima kasih aku karena udah banyak bantuin aku.”

Ares terharu mendengar ucapan Sasa. Sasa yang tidak dekat dengannya saja bisa menguatkannya seperti ini, lantas kedua sahabatnya? Rea yang ternyata merupakan dalang di balik kematian mamanya, dan Zilva yang hingga sekarang belum juga nampak batang hidungnya oleh Ares. Bukannya Ares berharap untuk dikasihani Zilva, akan tetapi, Ares butuh sosok sahabatnya itu untuk menguatkannya.

“Sekali lagi, terima kasih banyak ya, Sa. Aku bersyukur masih dikelilingi oleh orang-orang yang selalu nyemangatin aku.”

⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰

Bisa jadi, luka yang paling serius didapat dari teman terdekat. Mereka mencoba memeluk keakraban, demi melancarkan aksi pengkhianatan. 

ESTETIKA [Completed ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang