"Menikahlah dengan Arkan, Nak," ucap seorang wanita tua dengan wajah sendunya. Dia memandang Sashi, penuh rasa bersalah.
Di ruangan itu, semua keluarga tengah berkumpul, termasuk ibu dan ayahnya. Wajah mereka tampak tegang seolah hal buruk sedang terjadi. Memang, itulah sedang terjadi saat ini.
Masalah datang di saat yang sangat tidak tepat sama sekali. Membuat Sashi yang seharusnya menjadi pemeran utama dalam acara ini, menerima kenyataan pahit kalau calon suaminya pergi meninggalkannya tepat di saat mereka akan melakukan janji suci.
Tanpa penjelasan apapun, laki-laki yang selama dua tahun ini menjalin kasih dengannya, kabur tanpa kabar. Janjinya sama sekali tidak ditepati dan keluarganya harus menanggung malu.Sashi sama sekali tidak bisa melupakan saat para tamu undangan mulai berbisik, ketika menyadari kalau calon mempelai pria tak kunjung datang. Hanya keluarga mertuanya yang menjumpai mereka dengan wajah cemas dan langsung menarik mereka ke ruangan untuk bicara.
"Bagaimana dengan Kak Arkan? Sashi tidak mau memaksa Kak Arkan," ucapnya dengan nada tercekat.
Pandangan Sashi, beralih menatap ke arah Arkan yang saat ini duduk tepat di depannya. Jas pengantin yang harusnya dipakai oleh Andrew, kini berganti pemiliknya. Tanpa rasa canggung ataupun ragu, laki-laki itu memberikannya senyum manis. Membuat wajahnya, semakin memesona dan berseri di mata Sashi.
"Aku bersedia menikahimu."
Tiga kata yang langsung membuat semua orang di sana bisa bernapas lega, namun tentu berbeda dengan Sashi yang kini kaget mendengar jawaban yang keluar dari mulut laki-laki yang harusnya menjadi iparnya. Sangat bertolak belakang dengan apa yang dia harapkan.
Senyum kecut terukir di bibir kecil Sashi yang kini dipoles oleh lipstik berwarna peach. Wanita dengan wajah anggun itu, tampak cantik dengan kebaya putih gading yang membungkus lekuk tubuhnya. Rambutnya disanggul, dengan beberapa helaian dibiarkan terurai indah.
"Bagaimana, Nak? Apa kamu setuju?" tanya wanita yang tidak lain adalah Mama Arkan, Nina.
Kini, semua orang di sana menatap penuh harap ke arahnya. Mereka seolah menanti keputusan final dari Sashi, dengan sorot penuh kecemasan. Ayah, Ibu, Arkan, dan kedua orang yang akan menjadi mertuanya.
Satu keputusan yang dipilihnya, akan menentukan bagaimana kehidupan Sashi nantinya. Apa yang harus dia pilih? Haruskah dia membatalkan pernikahannya setelah semua persiapan berbulan-bulan yang dia lakukan? Haruskah keluarganya kehilangan muka karena ketidakhadiran calon mempelai? Siapkah dia melihat keluarganya menanggung malu?
Sashi menipiskan bibirnya. Tangannya mengepal erat. Kemarahan pada sosok sang kekasih, telah tumbuh menjadi tunas kecil dalam hatinya. Dia membencinya. Sashi membenci sikap pengecut Andrew. Harusnya, jika tidak mau menikah, laki-laki itu datang langsung dan berbicara padanya, bukan dengan seenaknya meninggalkan dia sendiri.
'Pengecut kamu, Andrew!' Sashi membatin.
Sambil memejamkan matanya, akhirnya Sashi memutuskan untuk menyetujui pernikahan ini, dengan mengganti calon mempelai prianya. Tak apa, demi menyelamatkan harga diri keluarganya, Sashi harus mau mengorbankan dirinya sendiri. Satu-satunya jalan keluar yang bisa dia lakukan.
"Syukurlah sayang, Mama senang mendengarnya."
Semua orang di sana menyebarkan senyum bahagianya karena akhirnya mereka berhasil membujuk Sashi, hingga mereka tak perlu lagi menanggung malu. Dengan wajah ceria, mereka menarik Sashi dan Arkan untuk ke luar. Menuju ke arah pelaminan yang sudah dihias dan didekorasi oleh WO sedemikian rupa.
Kehadiran mereka, sontak menjadi perhatian para tamu undangan. Mereka menatap Sashi dan Arkan bergantian. Saling berbisik saat tahu kalau calon pengantin prianya telah berubah.
Sekali lagi, Sashi menguatkan tekadnya. Dia meremas jari-jemarinya dengan kuat. Menggenggam tangan sang Mama dan menatapnya sendu. Bahkan sebelum mereka menuju pelaminan, cemoohan dan sindiran sudah terdengar. Rasanya Sashi ingin kembali dan membatalkan niatnya untuk menikah.Namun, sebelum itu terjadi, tangan lain menggenggamnya di sisi kiri. Orang itu adalah Arkan. Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, dia menggenggam erat tangan Sashi yang kini mulai berkeringat. Laki-laki itu seolah menyalurkan kekuatan dan semangat untuknya. Berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja lewat tatapan matanya.
Sashi terdiam beberapa saat, hatinya yang kalut dan diliputi rasa cemas, mulai memudar. Berganti dengan rasa tenang karena semangat yang Arkan pancarkan.
Keduanya berjalan menuju pelaminan secara beriringan. Duduk saling berdampingan. Sashi tidak lagi memedulikan ucapan ataupun perkataan dan bisik-bisik mengganggu telinga. Fokusnya sekarang hanya pada Arkan yang dengan lantang tengah mengucapkan janjinya di hadapan Tuhan. Hingga suara saksi yang mengucap kata 'sah' terdengar, memasuki gendang telinganya.
Akhirnya, statusnya telah berubah. Dia bukan lagi, seorang wanita lajang. Sashi bisa melihat senyum di wajah semua orang, khususnya di wajah kedua orang tuanya. Mereka tampak sangat bahagia, tapi tidak dengannya. Sashi tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Apakah dia bisa menjalani pernikahan ini, sebagaimana mestinya?
***
Para tamu undangan, belum selesai menyalami Arkan dan Sashi yang kini menjadi pemeran utama di acara pernikahan itu. Keduanya menyiratkan rasa lelah, tapi senyum tak kunjung luntur dari wajah mereka. Meski untuk Sashi, senyum yang diperlihatkannya adalah palsu.
Sashi menatap ke arah Arkan dengan pandangan menilai. Laki-laki yang beberapa saat lalu, sah menjadi suaminya, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah tersiksa atau terpaksa sedikit pun. Berbeda dengannya yang sejak tadi masih tidak mau menerima kenyataan kalau Arkan, bukanlah suami yang dia inginkan.
Jika Sashi bisa memutar waktu, dia lebih baik tidak akan menyetujui lamaran Andrew dulu. Hingga dirinya tak perlu berakhir menikah dengan orang yang harusnya menjadi kakak iparnya, tapi apa boleh buat. Tuhan telah mengatur semuanya. Mungkin laki-laki pengecut itu, bukanlah jodohnya. Dia tidak pantas mendapatkannya. Namun tetap saja, rasa sakit akibat apa yang dilakukan mantan kekasihnya telah tertanam di lubuk hatinya yang paling dalam.
Jika Andrew pergi karena wanita lain, harusnya laki-laki itu menjelaskan semuanya secara baik-baik. Bukan dengan mempermalukannya seperti ini.
Pandangan Sashi sontak berkaca-kaca saat otaknya memutar kembali ingatan tentang kenangan mereka saat masih bersama. Bagaimana manisnya Andrew yang selalu menjaga dan terus berada di sampingan. Kini, semua itu hanyalah kenangan pahit yang tidak selayaknya tinggal dalam ingatan.
"Apa yang membuatmu menangis? Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini? Maafkan aku kalau begitu."
Suara Arkan langsung menyadarkan Sashi dari ingatan tak pantasnya. Kepalanya terangkat, menatap wajah yang sejak tadi berseri, kini tampak sedih. Sepertinya, laki-laki itu merasa bersalah atas sikap adiknya yang pengecut.
Sashi tersenyum masam, tangannya menyapu pipi yang kini basa oleh air mata dengan kasar. Mengalihkan kembali perhatiannya pada para tamu. Rupanya kini para tamu sudah sibuk mencicipi makanan. Tidak ada lagi dari mereka yang menyalaminya.
Sashi menghela napas lega, dia kemudian berjalan dan duduk di kursi khusus pengantin tanpa memedulikan Arkan. Membuat Arkan yang melihat itu, berjalan dan ikut duduk di sampingnya. Matanya memandang sang istri dengan cemas.
"Apa kamu mau minum?" tawar Arkan yang langsung dibalas gelengan oleh Sashi. Wanita itu sama sekali tidak mau menatap Arkan. Dia lebih untuk menatap ke sembarang arah, asal tidak pada Arkan.
"Apa kamu mau makan--"
"Tolong jangan bicara padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
RomanceWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...