PROLOG

23.2K 2.6K 242
                                    

Lima Tahun Lalu

Tubuh molek di balik selimut menggeliat saat menyadari permukaan dingin di sebelahnya. Ia meregangkan tangan sambil menguap lebar. Kamar hotel bintang lima yang mereka berdua tempati bercahaya temaram, padahal ia tahu hari masih beranjak sore.

Begitu melihat siluet yang sedang duduk di sofa seberang tempat tidur, ia langsung tersenyum malas.

"Hai, Sayang," sapa Katlyn dengan suara parau sehabis bangun.

Sosok yang disapanya itu duduk bersandar dengan kedua kaki diletakkan di atas ottoman. Ia mencondongkan tubuh ke depan. Asap rokok pekat mengelilinginya.

"Hai juga, Kitten."

Kitten. Kucing kecil. Panggilan sayang kekasihnya, hanya untuk Katlyn seorang.

Lagi-lagi, Katlyn tersenyum. Rambutnya berantakan. Penampilannya saat ini akan selalu diingat oleh kekasihnya sampai kapan pun. Terlalu indah untuk dilupakan.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Katlyn seraya bangkit duduk. Ia menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.

Ingatan tentang semalam membuat wajahnya merona. Ia sampai harus menggigit bibirnya untuk menahan senyum konyol muncul. Dari balik kegelapan sudut kamar, gestur itu tak luput dari perhatian sang kekasih.

"Janesa?" panggil Katlyn tatkala menyadari kekasihnya tak menyahut.

"Kamu ada kelas jam berapa?" Kekasihnya justru balik bertanya dengan pertanyaan tak relevan.

Katlyn coba mengingat-ingat. "Dua siang. Ada seminar umum. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang jadi pembicaranya. Kamu ikut, 'kan?"

Kepala Janesa menggeleng. "Nggak bisa dateng."

Katlyn tersenyum manis. "Kenapa? Kemarin udah bolos. Masa hari ini mau bolos lagi?"

Ia menyandarkan kepalanya di atas lutut yang tertutup selimut. Pemandangan itu membuat Janesa tertegun. Hasrat dan hatinya ingin ia melupakan semua yang sedang terjadi lalu tinggal lebih lama bersama Katlyn. Atau jika mungkin, ia ingin membawa Katlyn pergi. Sejauh-jauhnya dari sini.

"Ada yang perlu kuakuin sama kamu."

"Hmm?" Kedua mata Katlyn masih berbinar karena perasaan hangat yang menjalari hati dan pikirannya. Kalau ini mungkin terjadi, rasanya Katlyn semakin jatuh cinta dengan kekasihnya. Apalagi setelah malam pertama mereka—

"Usiaku masih delapan belas."

"Hah?"

Bukan nada terkejut, melainkan kebingungan murni yang ditangkap oleh telinga Janesa. Di lain pihak, Katlyn tidak benar-benar mendengar jelas apa yang barusan dikatakan oleh lelaki itu.

"Aku nggak kuliah di Pelita Bangsa. Aku bahkan bukan mahasiswa. Usiaku delapan belas," lanjut Janesa ringan.

Katlyn menegakkan tubuhnya. Ekspresinya dipenuhi kebingungan. "Maksudnya gimana?"

"Pacaran sama kamu hanya salah satu caraku untuk dapat informasi lebih banyak. Targetku bukan kamu, tapi papamu." Janesa menekan tombol remote di tangannya. Televisi langsung menyala.

"... Menteri Kesehatan, Wishnu Sudiro, ditangkap oleh KPK tadi malam setelah sepekan sebelumnya menghilang dari radar. Kronologi penangkapan ini berawal dari informasi anonim yang diterima oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik KPK mengenai dugaan keterlibatan tersangka dalam kasus distribusi vaksin palsu dari Legacy Biopharma. Dari bukti-bukti yang diterima, diketahui tersangka menerima suap sebesar jutaan poundsterling yang sampai saat ini masih tersimpan di Bank Swiss. Pemerintah sendiri ..."

Telinga Katlyn mendadak berdengung dan tak dapat mendengar apa yang sedang coba pewarta berita sampaikan. Tatapannya fokus pada tayangan di mana papanya, Wishnu Sudiro, sedang mengenakan rompi oranye dan digiring oleh banyak orang menuju gedung pemeriksaan. Kepala papanya tertunduk lesu. Pertanyaan wartawan tak sekali pun digubris.

Dengan tangan gemetar, Katlyn mencari-cari ponselnya. Volume televisi diperbesar oleh Janesa. Mau tidak mau, suara itu membuat Katlyn menatap layar televisi lagi.

"... terkait dengan penangkapan suaminya, Rosita Sudiro ditemukan tewas gantung diri di kamar oleh sang anak bungsu, Timothy Sudiro ..."

Katlyn sontak menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kini, sekujur tubuhnya ikut gemetar. Perasaan dingin seakan habis disiram es memenuhi raganya. Ia berteriak histeris.

Itu berita bohong! Pasti bohong!

Dua hari lalu, mereka masih berkumpul untuk makan malam bersama di rumah!

Katlyn lagi-lagi berteriak histeris sambil meringkuk di atas tempat tidur. Dadanya sesak oleh suara-suara pewarta berita yang berulang bagai radio rusak di telinganya.

Televisi dimatikan oleh Janesa. Ia menurunkan kaki dari ottoman, kemudian bangkit. Rokok yang masih tersisa separuh dimatikan di dalam asbak seraya mengambil jaket kulit yang diletakkan sembarang di atas sandaran sofa.

"Tugasku selesai," ujar Janesa dengan suara lirih. Ia melangkah lebar, keluar dari kamar suite mereka.

Katlyn ditinggalkan sendirian.

***

C.R.T Vol. I [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang