"KUKIRA hanya Profesor saja orang Indonesia yang ada di Dunedin," ujar Challa dalam bahasa Inggris.
Sejak melihat Katlyn pertama kali, tatapan Challa tidak lepas darinya. Ini memang kali pertama Challa bertemu orang Melayu selain Miranda.
"Di Otago nggak ada orang Indonesia sama sekali?" Katlyn mengernyit heran. Universitas yang dimaksud Katlyn pasti punya mahasiswa dari seluruh belahan dunia. Mana mungkin Indonesia bukan salah satunya.
"Ada, tapi aku tidak pernah bertemu mereka."
Miranda menepuk-nepuk pundak Challa. "Dia ini lebih suka ngabisin waktunya di lab daripada sosialisasi."
Senyum masih belum hilang dari wajah Katlyn. Challa tidak kelihatan se-nerdy itu. Manis, memang. Tubuhnya juga bugar, menandakan orang sesibuk Challa masih punya waktu untuk berolahraga.
Candaan Miranda membuat Challa tersipu. Berbeda dengan Challa, tengkuk Katlyn justru terasa dingin. Seketika ia menoleh dan mendapati J sedang bersandar di dinding, mengamati mereka. Katlyn buru-buru menghampirinya.
"Ada apa?" Katlyn sengaja menghalangi pandangan J dari Challa.
Kini, lelaki itu menatap Katlyn. Cukup lama sampai Katlyn merasa canggung sendiri. Tatapannya terkesan menuduh seolah Katlyn baru saja melakukan kesalahan lalu ketahuan.
"Jangan bikin Challa pingsan gara-gara kamu nggak suka dia!" gumam Katlyn sambil menunduk.
Tentu saja J mendengarnya. Terbukti dari ekspresi masam yang ia tunjukkan. "Ada yang mau kubahas," J berujar.
Katlyn mengangkat kepalanya. "Apa?"
"Kita berangkat ke Namibia hari ini."
Katlyn menoleh ke belakang di mana Miranda dan Challa masih mengobrol. "Menurutmu, Tante Miranda udah setuju bantuin kita?"
"Kita bawa paksa."
Katlyn menatapnya lagi. Kedua matanya menyipit curiga. "Diculik, maksudnya?"
J mengangguk singkat. "Si Charlie punya dua pilihan. Dibunuh di sini atau dibawa ke Namibia juga."
"Challa." Katlyn setengah berbisik untuk meralat. Ia menarik lengan lelaki itu menjauh dari jarak dengar Miranda dan Challa. "Masa mau angkut orang sembarangan?"
"Dari gelagatnya, tantemu pasti setuju bikin vaksin. Wabah ini, kan, gara-gara dia juga. Kalau si Chanai, aku nggak peduli. Bawa atau bunuh, terserah kamu."
Katlyn heran bagaimana J bisa mengatakan itu semua dengan ekspresi datar.
"Kenapa harus dibunuh, sih?" Kedua alis Katlyn membentuk satu garis lurus. "Namanya Challa, bukan Chanai." Ia membayangkan roti pipih asal India yang dicelup kuah kari. Sekarang perutnya jadi lapar.
"Dia tahu kita di sini."
"Kamu cemas dia bocorin informasi ke siapa pun yang lagi nyariin kita?"
"Nyari kamu dan tantemu. Bukan 'kita'."
Entah apa gunanya J selalu menekankan kalau yang sedang dalam keadaan terdesak saat ini adalah Katlyn seorang. Terdengar seperti Katlyn yang mengemis minta ditolong, sedangkan J yang berlagak jadi pahlawannya.
"Aku nggak minta dibantu, lho," tepis Katlyn.
"Tapi, kamu butuh aku."
"No, kamu yang butuh aku."
"Fine! Kita saling membutuhkan. Resmi balikan?"
Katlyn geleng-geleng kepala, tak habis pikir. Percuma saja bicara pada tembok. Buang-buang tenaga. Mau marah juga tidak ada gunanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.R.T Vol. I [Published by Karos]
Детектив / Триллер"Kapten lihat cewek rambut putih yang di sana itu?" tunjuk Tea. "Katlyn?" Dia mengangguk. "J membunuh mamanya, menjebloskan papanya ke penjara, dan membuat hidupnya jungkir balik dalam satu malam. Sekarang? Mereka suami istri di Kartu Keluarga." Kat...