KARENA tidak diberi tahu mereka akan pergi berapa lama, Katlyn hanya membawa tas tote berisi satu setel pakaian terbaik yang bisa dikenakan untuk bertemu papanya. Papa harus tahu jika dirinya dalam keadaan baik dan sehat agar tak merasa kepikiran selama menjalani masa tahanan.
"Urusanmu udah beres?" tanya Katlyn begitu menyadari tidak biasanya Janesa hening sejak tadi.
"Hm?"
"Kamu bilang perlu ngelakuin sesuatu, makanya kamu nurunin aku di rumah."
"Iya."
Keheningan ini terasa canggung. Ingin sekali dia bertanya tentang urusan apa yang dimiliki Janesa tadi. Namun, bibirnya terkunci rapat. Baginya, semakin sedikit yang dia tidak tahu, maka akan semakin baik. Katlyn tidak ingin terlibat kejahatan apa pun yang Janesa lakukan.
"Di mana lokasi Papa ditahan?" tanyanya lagi.
"Dekat bandara."
Dahi Katlyn berkerut bingung. "Kenapa di sana?" Muncul kecurigaan dalam hatinya. Dia cemas ditipu lagi.
"Ada tempat khusus yang nggak bisa dimasuki orang sembarangan. Di sana aman. Lagi pula, praktis juga. Setelah jenguk papamu, kita pergi ke Selandia Baru."
"Hah?" Katlyn melongo. "Mau apa ke sana?"
"Ketemu tantemu."
Katlyn teringat ucapan Janesa tentang tante yang tidak pernah ditemuinya selama ini. "Tapi, aku nggak bawa paspor."
Janesa tertawa kecil seolah apa yang dikatakan Katlyn sangat lucu. Saat menyadari raut datar Katlyn, ia berdeham. "Kamu nggak bisa pake paspormu. Begitu namamu muncul di data maskapai, sama halnya kamu ngundang para pemburu mendatangimu."
"Terus ke luar negeri nggak pake paspor? Visa?"
Secanggih-canggihnya Janesa, mereka tetap butuh data diri untuk laporan ke imigrasi supaya diizinkan masuk ke negara asing. Itu menurut Katlyn. Melihat ekspresi santai laki-laki yang membawanya, Katlyn mulai berpikir yang tidak-tidak.
Nggak mungkin dia bisa memalsukan paspor atau visa!
"Gimana sama Timmy?" Katlyn mulai mencemaskan keselamatan adiknya. Meninggalkan Timothy sendirian di Surabaya terlalu berisiko.
Janesa terdiam cukup lama sebelum menyahut, "Udah saatnya aku ngenalin kamu ke semua anggotaku."
Mereka berhenti di sebuah hanggar tua dekat bandara lama. Area di sekitar sini tampak sepi dan terbengkalai. Begitu sampai, mereka bertemu lelaki dengan seragam tentara yang dilengkapi persenjataan. Janesa hanya menurunkan sedikit kaca mobilnya, menunjukkan sebuah medali kecil.
Usai memastikan keaslian medali itu, mobil mereka diizinkan lewat.
"Apa itu tadi?" Kepala Katlyn terus melihat ke belakang. "Itu medali apa?" tanyanya lagi.
"Tempat ini masih milik Angkatan Udara. Seperti yang kubilang, nggak semua orang boleh masuk ke sini, kecuali yang berkepentingan."
"Dan sekarang kamu bekerja sama dengan militer?" Dahi Katlyn berkerut dalam. Setahunya, Janesa itu penjahat. Tentara tidak bergaul dengan penjahat, kecuali jika Janesa kenal salah satu perwira yang menguntungkannya. Bukankah tadi Janesa menyinggung tentang anggota yang dia miliki?
"Ini bukan medali." Janesa mengeluarkan benda yang dimaksud Katlyn dari kantong celananya. "Ini tokenku. Orang-orang yang tahu tentang token ini punya utang budi padaku."
Kali ini, Katlyn dapat melihat benda yang tadinya dia kira sebagai medali adalah sebuah koin perunggu berdiameter setengah telapak tangan. Koin itu memiliki gambar timbul berbentuk huruf C.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.R.T Vol. I [Published by Karos]
Mystery / Thriller"Kapten lihat cewek rambut putih yang di sana itu?" tunjuk Tea. "Katlyn?" Dia mengangguk. "J membunuh mamanya, menjebloskan papanya ke penjara, dan membuat hidupnya jungkir balik dalam satu malam. Sekarang? Mereka suami istri di Kartu Keluarga." Kat...