KATLYN merasa ada yang mengikutinya sejak keluar dari wahana. Awalnya, ia mengira itu Janesa. Namun setelah apa yang terjadi kemarin, Janesa tak punya alasan lagi untuk menguntitnya diam-diam. Lantaran terlalu sibuk melamun, Katlyn melewatkan bus merah tumpangannya hari itu. Dia baru menyadarinya ketika bus telah menjauh.
Sebuah motor yang ditumpangi dua laki-laki berbadan besar berhenti di depan Katlyn. Wajah mereka cukup gahar dan tampak seperti kriminal. Jaket usang yang menutupi kulit gelap mereka menegaskan dugaan Katlyn.
"Mbak Katlyn, ya?" Salah seorang dari mereka bertanya. Laki-laki satunya duduk di sebelah Katlyn, menghalanginya pergi ke mana-mana.
Keringat dingin mengaliri permukaan kulit punggung Katlyn. Ia dapat merasakannya.
"Si-siapa?"
"Kami dari Bank XXX."
Katlyn menelan ludah dengan susah payah. Debt collector berhasil menemukannya.
"Kami sedang menjalankan perintah dari kantor." Laki-laki yang mengajak Katlyn bicara menyandarkan bahunya ke pilar halte seraya menyalakan rokok.
Katlyn melihat sekeliling. Halte ini sepi. Jalan raya juga tidak ramai karena bukan jam sibuk. Katlyn agak menyesali keputusannya pulang lebih awal. Ini masih pukul tiga sore. Tadinya ia ingin buru-buru pulang karena harus menjaga anak-anak. Dua orang ini badannya besar-besar. Tampangnya mirip penjahat. Bagaimana cara dia kabur?
"Akhir bulan nanti, saya janji akan bayar. Pas gajian," cicit Katlyn. "Kalau hari ini, saya nggak ada uang."
Si laki-laki pertama dengan rokok mengembuskan asap pekat lewat mulut seraya mengamati Katlyn dari kepala sampai kaki dengan pandangan menilai. "Mbak berani ambil kredit sampai puluhan juta, tahu berapa persen bunga yang bakal ditanggung. Kok, sudah waktunya bayar, Mbak malah pake alasan nggak ada duit? Mana susah banget dicarinya. Sengaja kabur, ya?"
"Kami cuma melakukan perintah dari kantor. Sekarang kudu bayar, Mbak." Laki-laki yang duduk di sebelah Katlyn ikut menimpali. "Mau Mbak pinjem lagi ke orang, jual diri atau jual organ, terserah. Pokoknya kita tungguin sekarang."
Katlyn menggigit bibir, menahan tangis. "Emang yang nerima jual beli organ jam segini masih buka, Pak? Kalau bisa cepet, saya nggak masalah. Toh, cuma satu ginjal yang dijual."
Dua debt collector yang mengelilingi Katlyn saling pandang. Mereka juga tidak tahu. "Ribet kalau jual organ, Mbak. Jual diri aja, deh. Langsung kelihatan hasilnya."
"Saya kudu cari pelanggan dulu kalau gitu," gumam Katlyn. "Masa kalian berdua mau nungguin saya?"
Mereka kompak mengangguk. "Lebih cepat, lebih baik. Kami harus bawa hasil hari ini."
"Kalau kalian ngikutin saya, nanti nggak ada pelanggan yang mau. Keburu takut dulu sama kalian." Katlyn mencoba bernegosiasi.
"Kalau Mbak Katlyn ini nggak ditungguin, entar kabur lagi. Nyariin Mbak itu susah banget. Gonta-ganti alamat sama nomor telepon terus."
"Gimana? Kudu lunas hari ini, lho!" Si laki-laki dengan rokok masih memandang Katlyn sambil berpikir. "Kalau dilihat-lihat, badan kayak Mbak gini sekali dapet bisalah sejuta dua juta. Tapi walaupun ngelayanin pelanggan nonstop sampai besok, belum tentu ketutup utangnya. Kita kasih kemudahan, deh. Hari ini boleh bayar setengahnya, tapi besok wajib lunas."
Katlyn menahan tangis. Ia tak bisa membayangkan jadi pelacur hanya demi membayar utang kartu kredit. Jika boleh memilih, dia lebih suka prospek menjual satu ginjal. Kalau laku, masih ada kembaliannya. Lumayan untuk tabungan.
"Kok diem, Mbak? Keburu hujan, nih!"
"Kalau perlu, saya yang anterin Mbak ketemu pelanggan. Cari dulu, gih! Biasanya pake media sosial manjur. Cepet! Posting aja foto semi-telanjang buat pancingan. Punya, 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
C.R.T Vol. I [Published by Karos]
Mystery / Thriller"Kapten lihat cewek rambut putih yang di sana itu?" tunjuk Tea. "Katlyn?" Dia mengangguk. "J membunuh mamanya, menjebloskan papanya ke penjara, dan membuat hidupnya jungkir balik dalam satu malam. Sekarang? Mereka suami istri di Kartu Keluarga." Kat...