KATLYN duduk tak tenang di sebelah Janesa yang sedang fokus mengemudi. Tujuannya ke mana, dia sudah tidak peduli lagi. Hatinya masih gelisah. Bunyi tabrakan yang dia timbulkan tadi terngiang-ngiang di kepalanya. Dia tidak percaya kalau dirinya senekat itu.
"Gimana kalau polisi ngelacak kita?" gumamnya.
"Probably. But it doesn't matter anymore."
"Gimana kalau ada saksi yang melihat kita?"
"Pasti udah diberesin sama yang lain."
Katlyn sontak menoleh. "Apa caramu membungkam saksi harus membuatku khawatir?"
Janesa mengedikkan bahu. "Paling gampang, ya dikasih obat penghilang ingatan. Kalau terpaksa aja baru di ... well, you know."
"Aku pembunuh." Sebulir air mata turun ke pipi Katlyn.
"Kitten, it was between us or them. Kalau kita nggak bunuh mereka, kita yang akan dibunuh lebih dulu." Janesa mendesah lelah. "Look, we have something more important to talk about."
"Apa?" Katlyn memandangnya. "Tentang di mana kamu mindahin papaku?"
"Nggak. Iya—maksudku, eventually we'll talk about it. Tapi, sekarang aku lebih tertarik bahas anak kita—"
"Anak itu sudah meninggal," sela Katlyn, tak dapat menghindari rasa mengiris di hatinya ketika menyebut anak yang tidak sempat dia besarkan.
"Laki-laki?" Janesa menoleh sekilas sebelum mengembalikan fokusnya pada jalan.
Katlyn ingin mengatakan sesuatu, tetapi batal.
"Kenapa bisa ... keguguran?" Janesa masih penasaran. Walau anak itu sudah lama meninggal, ia masih bisa merasakan adrenalin sekaligus kebahagiaan karena prospek menjadi seorang ayah.
"Hidupku berantakan, thanks to you. Aku harus menghidupi Timothy selagi beradaptasi dengan kehidupan baru, thanks again to you. Selama kesibukan itu, aku mengalami kelelahan kronis dan gizi buruk." Nadanya dingin sewaktu menjelaskan.
"Jadi, anak itu ... karena aku?" Janesa menunjuk dirinya. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Perasaan tidak menyenangkan yang ganjil.
Katlyn menghela napas berat. "Nggak tahu. Mungkin Tuhan nilai aku nggak siap untuk punya anak. Baguslah."
"Kok, bagus?"
"Dengan begitu, kita nggak punya ikatan apa-apa lagi. Kehadiran anak cuma bikin keadaan makin rumit." Katlyn membohongi hatinya sendiri. Ia ingat seberapa dalam dukanya ketika mendapati dirinya keguguran.
"Aku bapaknya, jadi aku punya hak nentuin nasibnya."
Katlyn tertawa getir. "Anak itu sudah lama pergi, Janesa. Apa lagi yang mau kamu ributin?" Kemudian, nadanya terdengar gusar. "Kenapa bahas ini, sih?"
Untungnya Janesa tak ingin memperpanjang topik itu. Katlyn memeriksa ponselnya hanya untuk mendapati puluhan panggilan tak terjawab dari Baron. Bosnya pasti kesal karena Katlyn tiba-tiba susah dihubungi, padahal sudah bersedia menerima job. Anehnya, hal tersebut tak membuatnya merasa bersalah. Satu-satunya hal yang membebaninya saat ini adalah keselamatan dirinya dan Timothy.
"Apa aku harus pindah rumah? Sekarang, Krotos udah tahu di mana aku tinggal."
Janesa mengangguk. "Tadinya aku mau nyaranin buat tinggal bareng."
Dahi Katlyn berkerut dalam. "With you?" Ia hampir tertawa. Berani-beraninya Janesa menawarkan hal absurd.
"Tapi, tinggal di rumah itu sebenarnya cukup aman. Krotos nggak akan menyerang kalau kamu tinggal di antara banyak warga sipil. Skenario paling memungkinkan, kamu diculik waktu pulang dari wahana. Lebih baik kamu resign, deh! Toh, gajinya nggak banyak-banyak amat, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
C.R.T Vol. I [Published by Karos]
Mystère / Thriller"Kapten lihat cewek rambut putih yang di sana itu?" tunjuk Tea. "Katlyn?" Dia mengangguk. "J membunuh mamanya, menjebloskan papanya ke penjara, dan membuat hidupnya jungkir balik dalam satu malam. Sekarang? Mereka suami istri di Kartu Keluarga." Kat...