Ada kekosongan besar yang diam-diam berusaha cowok itu tutup dengan keramaian. Ada keluh juga sesak yang berusaha ia samarkan dengan musik yang menghentak pelan. Ia tidak tahu sejak kapan dunia malam menjadi tempat yang ia pilih sebagai pelarian, ia hanya tahu bahwa di tempat ini semua terasa menyenangkan.
Di sini, tidak ada pekik lantang yang menuntutnya untuk selalu menjadi sempurna. Tidak ada umpat yang meremukkan relungnya ketika ia mendapat cacat sedikit saja. Tempat ini adalah bagaimana Raja hidup tanpa tekanan dari mereka yang menaruh harap setinggi angkasa dan jika ia jatuh maka hancurlah segalanya. Tempat ini adalah ruang di mana Raja bisa menjadi Raja yang tanpa pura-pura. Raja yang diterima dengan segala kurang dan cacatnya.
Cowok itu mengisap lagi tembakau yang sudah setengah habis terbakar. Berusaha mengais sisa-sisa ingatan yang tertinggal. Dulu, saat malamnya hanya akan ia habiskan untuk duduk di tengah-tengah keluarganya yang bahagia. Dulu, sebelum rumah itu berubah menjadi tempat yang tidak ia suka. Kini saat semua yang ia genggam akhirnya tiada, cowok itu juga kehilangan dunianya.
Tempo musik kian cepat. Orang-orang yang semula diam pun mulai beranjak. Raja bisa merasakan lengan jaketnya ditarik oleh tangan yang ia kenal betul milik siapa, tapi cowok itu menepis dengan lembut dan mengukir senyumnya. Ia tahu betul cara menolak gadis itu tanpa perlu menyakiti dengan kata.
"Lima menit aja. Kita nikmatin musik pakai cara mereka. Lo nggak datang ke sini cuma buat numpang ngerokok doang, kan?" Gadis itu kembali mendekat. Lengan putihnya yang terekspos melingkar di pundak lebar Raja.
Cowok itu tersenyum, mencoba bersabar. Bagaimanapun juga ia telah mengenal Sabrina jauh sebelum ia mengenal dunia malam. Kesimpulannya, mereka berteman, dan Raja tidak ingin bertindak kasar.
"Dan gue nggak dateng ke sini buat lakuin semua yang kalian lakuin, Bi. Gue masih tahu batasan." Kemudian cowok itu menyesap lagi sisa nikotinnya dan membuang asapnya dengan sengaja. Membiarkan aroma tembakau yang menyengat itu menguar di udara.
"Lagian gue ngerokok. Seharusnya lo nggak deket-deket gue. Perokok pasif jauh lebih berisiko daripada perokok aktifnya, kan?" lanjutnya, sembari melepas rangkulan Sabrina pelan-pelan.
Gadis itu menghela napas panjang. Tetapi setelahnya ia bangkit dan mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.
"Okay. Gue sama yang lain aja."
Dan Raja tidak peduli lagi setelahnya. Ia mengalihkan pandangan tepat saat gadis broken home bernama Sabrina itu menarik pria lain dari duduknya.
Raja tidak buta. Ia bisa melihat bagaimana gadis itu menyukainya. Tetapi sejauh ini ia berusaha untuk tidak memberinya harapan apa-apa.bRaja tidak pernah suka Sabrina karena selera mereka kebanyakan berbeda.
Hanya ada satu saja yang sama. Satu yang kemudian menjadi alasan mereka masih terus bertemu dan bertukar sapa. Kenyataan bahwa mereka sama-sama hidup di lingkungan keluarga yang tak lagi sempurna.
Bara yang menyala di ujung rokok Raja kini telah mencapai pangkalnya. Cowok itu mendecih, sebelum menjatuhkan benda itu ke lantai dan menginjaknya. Bersamaan dengan itu, ponsel di meja menjerit, memecah gaduh musik yang dilantunkan sang DJ dari tengah sana.
Mama.
Raja hanya melirik sekilas dan membiarkan benda itu membeku di meja. Ia justru menarik satu batang rokok lagi dari kotaknya, sebelum tangan seseorang merebutnya.
"Bagi, dong. Gue belum minum vitamin hari ini."
Raja mendongak, mendapati Andre duduk tanpa permisi lalu membakar rokok hasil curiannya.
"Nggak ada vitamin sejenis nikotin. Yang ada lo mati kalau make barang itu terus-terusan."
"Terus apa bedanya sama lo? Tenang aja, gue udah rencanain semuanya. Seandainya nanti gue mati gara-gara ini, ada lo yang nemenin gue ke neraka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Teen FictionHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...