Bab 4. Sandiwara Menjijikkan

13.6K 1.4K 220
                                    

Dua hari kemudian, Rava pulang dari Dubai. Jihan belum juga mau menemui atau menghubungiku lagi. Bohong kalau aku tidak merasa kecewa. Aku sangat kecewa.

Kebaikan-kebaikanku padanya selama ini dimentahkan begitu saja dengan penolakannya terhadap permintaanku.

Sebagai manusia biasa yang juga punya hati, tentu saja aku merasa sakit hati. Aku menginginkan Jihan membalas semua hutang budinya padaku. Aku sudah banyak menolong gadis itu, terutama dalam hal mempromosikan bisnis MUA-nya. Tidak hanya promosi lewat sosmed saja, tapi juga kupromosikan dari mulut ke mulut pada saudara, teman, bahkan sesama ibu-ibu istri pilot.

Tapi ternyata, Jihan hanyalah anak yang tidak tahu diri, sama seperti Rana.

"Ma ..."

Suara bariton dan usapan lembut di pinggang, mengagetkanku.

Aku mendongak pada wajah tampan yang dulu kukira hanya milikku seorang, ternyata sekarang sudah dimiliki oleh perempuan lain juga. Jantungku kembali berdenyut nyeri.

"Ya, Pa?" Seremuk apa pun perasaanku sekarang, aku tetap berusaha menyunggingkan senyuman yang kupaksa normal.

"Tahu kaus kaki Papa, nggak? Aku cari di lemari nggak ada." Rava bertanya seolah tidak pernah merasa bersalah telah berbagi tubuhnya dengan Rana.

Aku mematikan kompor dan bertingkah sama, seolah rumah tangga kami masih baik-baik saja. "Mungkin masih ada di ruang laundry, sama Bibi belum dimasukkan lemari. Papa mandi aja dulu, biar Mama carikan kaus kakinya."

Rava mencium puncak kepalaku sebelum berkata, "Makasih, Ma." Lalu dia pergi ke kamar mandi.

Aku menghela napas untuk membuang sesak di dada. Sejak tahu Rava selingkuh, dadaku rasanya seperti dihimpit batu besar. Meskipun berusaha kuenyahkan berkali-kali, tetap tidak bisa. Mengganjal sekali rasanya.

Kualihkan pikiran dan perasaanku yang mulai kacau dengan berjalan menuju kamar laundry di dekat dapur.

Selesai mengambil sepasang kaus kaki hitam dari keranjang baju setrikaan, aku berjalan menuju kamar untuk menyiapkan seragam yang akan dipakai mas Rava ke kantor pagi ini. Meskipun hari ini tidak ada jadwal penerbangan, tapi dia harus tetap masuk kantor untuk menyiapkan penerbangan ke Hawaii besok.

Setelah menggantungkan baju seragam Rava di handle pintu lemari, lalu meletakkan kaus kaki dan pakaian dalamnya di atas kasur, aku menjenguk Emmir sebentar di Baby Crib untuk memastikan kenyamanan tidurnya. Dua kakaknya juga masih tidur di kamar masing-masing sehingga aku bisa fokus melayani sarapan pagi Papa mereka tanpa ada gangguan. Syukurnya Emmir termasuk bayi yang tenang. Kalau sudah kenyang disusui, dia akan tidur lama tanpa bangun. Dia hanya akan bangun lalu menangis saat poop dan pipis dalam jumlah banyak.

Sewaktu aku mau kembali ke dapur, tatapanku tidak sengaja tertuju pada tas hitam milik suamiku yang biasa dipakai untuk kerja, baik di kantor maupun saat dinas terbang. Dia selalu membawa tas hitam itu ke mana-mana. Aku melirik pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar kami, masih tertutup rapat. Terdengar suara percikan air dari shower dan senandung Rava yang sedang menyanyikan lagu pop tahun 90-an, aku lupa nama penyanyi dan judul lagunya. Kuberanikan diri untuk membuka tas hitam itu dan mulai menggeledahinya, siapa tahu ada barang bukti lagi yang bisa kufoto.

Benar saja.

Di saku tas bagian dalam, aku menemukan sekotak kondom. Ketika dibuka, isinya sudah tidak utuh lagi. Untuk apa kondom ini jika tidak digunakan untuk menggauli Rana?

Selama ini, Rava tidak pernah memakai kondom ketika bercinta denganku. Kami menginginkan anak laki-laki, itu sebabnya setiap kali berhubungan, dia malah sengaja mengeluarkan spermanya di dalam rahimku. Apalagi sekarang saat aku sedang masa nifas, dia jelas belum bisa mengajakku berhubungan. Lalu, bagaimana bisa kondom ini sudah berkurang isinya? Pasti karena sudah digunakan untuk meniduri Rana di Dubai kemarin, kan?

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang