Bab 2. Cincin Sumber Bencana

20.5K 1.7K 224
                                    

Namaku Yasmin Atiqa Assegaf.

Awalnya, pernikahanku dengan Rava tidak direstui oleh kedua orangtuaku. Karena, marga Assegaf akan berhenti padaku. Sedangkan nama belakang anak-anakku ikut marga Rava, Bahmid.

Benar. Kami berdua sama-sama keturunan Arab, dan berasal dari kota yang sama, Batu-Malang. Tapi setelah menikah, kami pindah ke Jakarta untuk kepentingan pekerjaan Rava.

Lahir di tengah keluarga keturunan Arab yang menjunjung tinggi nasab, aku dididik Ummi untuk mematuhi kesepakatan keluarga dalam urusan pernikahan. Sebagai seorang Syarifah, wanita yang mempunyai garis keturunan Rasulullah, aku harus tunduk pada kafa'ah, kesesuaian atau keserasian pasangan yang telah ditentukan oleh keluarga.

Tapi, pilihan hatiku malah jatuh pada Rava yang memiliki marga non Alawiyyin. Artinya, marga Bahmid bukan termasuk golongan keturunan Rasulullah. Bahmid hanya marga Arab biasa, tidak digelari nasab istimewa.

Sebenarnya dulu, aku sudah dijodohkan dengan seorang pemuda dari golongan Alawiyyin bermarga Assegaf. Seorang pemuda bernama Hanif. Tapi karena aku tahu silsilah keluarganya seperti apa. Abah dan Jid-nya (kakeknya) berpoligami. Dan, ketika kutanya apakah nanti ada kemungkinan aku juga dipoligami, dengan tegas Hanif menjawab, "Aku tidak menentang poligami. Aku juga tidak bisa menjamin tidak akan melakukan poligami. Tapi aku akan berusaha setia padamu."

Dengan jawaban seperti itu, otomatis kutolak perjodohan kami. Selain karena hatiku sudah tertambat pada Rava, aku juga tidak mau dipoligami. Bukan rahasia umum lagi, banyak Habib melakukan poligami. Kugaris bawahi, tidak semua, tapi mayoritas. Ya paling tidak, di sekitarku banyak yang seperti itu. Kakekku juga seorang Habib. Beliau punya tiga orang istri. Meskipun dari luar mereka tampak akur, rukun, dan baik-baik saja. Tapi di belakang, mereka saling menjelekkan satu sama lain. Bahkan, anak keturunannya ada yang tidak mau menghadiri pemakaman Kakek dikarenakan merasa diperlakukan tidak adil. Sesempurna apapun praktik poligami, tetap saja akan meninggalkan sakit hati. Aku tidak suka.

Itu sebabnya, aku tidak mau dijodohkan dengan Sayyid yang sangat berpotensi melakukan poligami. Apalagi keluarga Hanif dikenal sebagai pemilik pondok pesantren paling mahsyur di kota Malang. Perempuan dari kalangan manapun rela dijadikan istri kedua, ketiga, keempat, bahkan simpanan yang hanya dinikahi siri tanpa disahkan secara hukum dan biasanya dipandang sebelah mata oleh para istri sah. Bagi mereka, itu tak mengapa, asalkan derajat keluarganya bisa terangkat dengan menyandang marga Alawiyyin. Gila, kan?

Daripada nantinya sakit hati sama seperti Jiddah dan istri-istri Kakek yang lain, lebih baik aku menikahi pemuda keturunan Arab yang bukan berasal dari golongan Alawiyyin. Tapi, meskipun bukan dari golongan Alawiyyin, Rava juga tidak kalah saleh. Dia orang yang terpelajar, rendah hati, pekerja keras, dan menghormati kedua orangtua kami. Meskipun tidak mendapat restu dari Abah dan Ummi, dia tetap bersikap hormat pada mereka. Setiap kali mudik ke Malang, Rava selalu membawakan oleh-oleh kesukaan mereka dan berusaha mengakrabkan diri.

Sebelum kami menikah, aku sering stalking akun Facebook Rava. Postingan-postingannya tidak ada yang aneh. Hanya hal-hal berbau pria, seputar rute jogging yang telah berhasil dicapai. Foto diri ketika berada di deck pesawat bersama co pilot. Foto beberapa bagian pesawat seperti sayap, moncong, atau bagian tangga pesawat.

Ya, benar. Rava adalah seorang pilot.

Lebih tepatnya, pilot swasta dari maskapai penerbangan yang paling terkenal di negara ini.

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang