Bab 16. Peperangan Dimulai

15.2K 1.9K 584
                                    

Aku tidak memikirkan apapun selain hak asuh anak-anakku.

Aku harap mas Rava mampu diajak berbicara baik-baik terkait surat gugatan ceraiku nanti.

Tapi mengingat bahwa dia pernah memukuli pacar Mita yang ikut membela Santi, aku jadi sadar bahwa mas Rava bisa saja memukuliku juga sebentar lagi.

Apalagi Hasyim juga ikut memperingatkan aku bahwa mas Rava punya sifat temperamental. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya. Tapi mas Rava pernah memukulinya di halaman belakang rumah Kanaya waktu kami menghadiri pesta ulang tahun putri keduanya. Ketika kutanya apa sebabnya, mas Rava hanya menjawab urusan laki-laki dan aku tidak perlu tahu.

Mas Rava memang tidak pernah memukulku atau ringan tangan terhadapku. Tapi kalau dia jengkel pada anak-anak yang terus menangis dan sulit dihentikan, dia akan menggendong paksa anak-anak ke kamar mandi dan diturunkan ke bathtub untuk diguyur air memakai shower. Bukannya berhenti, mereka malah justru menangis semakin keras karena ketakutan. Kalau saja aku tidak mendekap mereka dan berteriak memohon agar dia berhenti mengguyur anak-anak, entah bagaimana nasib mereka.

Kupikir mas Rava bersikap seperti itu karena sedang kelelahan dan ingin beristirahat dengan tenang di rumah tanpa ada gangguan dari anak-anak. Tapi hal itu terulang kembali beberapa kali ketika anak-anak rewel. Sampai akhirnya mereka jadi takut berulah waktu mas Rava sedang ada di rumah.

Menyadari itu semua, aku tahu bahwa sekarang posisiku sedang berada di ujung tanduk. Mas Rava tentu tidak akan terima bercerai denganku meskipun sudah kubeberkan semua bukti dan fakta yang sudah kukumpulkan. Dia juga pasti akan mengancamku agar aku mau membatalkan gugatan cerai.

Dengan tangan gemetaran, aku menekan nama Bibi di layar Hp. Syukurnya langsung diangkat. "Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam, Bi. Aku minta tolong, Bibi suruh suami Bibi jaga di dekat rumahku, tapi jangan sampai ketahuan mas Rava. Suaminya jangan sendirian, ya. Suruh pak RT atau warga sekitar untuk nemenin, paling nggak lima atau tujuh orang biar rame. Nanti kalau denger aku teriak, langsung masuk aja ke rumah. Kalau pintunya dikunci, dobrak aja. Ya, Bi?"

Bibi menjawab dengan suara hampir menangis, "Ada apa, Bu? Bapak kenapa? Saya takut ibu kenapa-kenapa."

Belum sempat aku menemukan kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Bibi, mobil mas Rava sudah berhenti di depan rumah. "Sudah dulu ya, Bi. Tolong, lakukan pesanku. Assalamu'alaikum."

Tanpa menunggu jawaban salam dari Bibi, aku menutup Hp dan menyimpannya dalam saku gamis. Aku memejamkan mata untuk menarik napas dan mengembuskannya pelan.

Pikiranku sudah macam-macam. Bayangan mas Rava membanting pintu, mencekik leherku, atau bahkan meninju wajahku sudah memenuhi ruang otakku membuat tubuhku menggigil ketakutan.

Jantungku berdebar semakin keras saat mendengar mas Rava membuka pintu pagar lalu berjalan memasuki rumah.

Aku sempat terhenyak ketika dia tiba-tiba duduk bersimpuh di hadapanku. Dengan wajah sangat sedih, dia berkata, "Mama kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba mengirim surat gugatan cerai ke kantor Papa? Apa maksud Mama? Ini bukan April Mop atau prank, kan?"

Kepalaku kaku seperti diguyur air es. Sekujur tubuhku membeku. Sambil meremas tangan aku menggeleng. "Aku serius."

Mendengar jawabanku, wajah sedih mas Rava berubah kaku. "Apa alasan Mama ingin cerai?"

Meskipun lidahku rasanya kaku namun kupaksa bibirku untuk bergerak dan berkata, "Kamu menghamili Rana."

Aku terlonjak saat mas Rava berteriak, "Mana buktinya?!" Satu tangannya menggebrak sofa. "Kalau kamu cuma diberitahu orang, dan nggak ada bukti, jangan mudah percaya! Aku sudah pernah difitnah seperti itu sebelumnya, kenapa kamu masih percaya gosip murahan?!"

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang