Bab 11. Aqiqah Emmir

11K 1.7K 444
                                    

Kuberitahu satu hal.

Mengetahui suamimu berselingkuh dengan sahabatmu sendiri, tapi kemudian harus memasang wajah baik-baik saja seolah semua perselingkuhan mereka tidak nyata, adalah hal terberat yang dilakukan seorang isteri.

Jika bukan atas nama pembalasan, sejak melihat mas Rava meniduri Rana di apartemen, aku sudah menuntutnya cerai. Tapi tidak kulakukan. Atau belum. Karena aku harus melakukan semua pembalasan ini dengan sangat sempurna.

Mas Rava boleh saja mengira aku wanita dungu, polos, dan mudah dibodohi. Tapi tunggu ketika semua aset milik kami, seperti rumah ini dan villa di Bogor dibalik nama atas namaku. Dia pasti akan berpikir ulang untuk menganggapku bodoh.

Dibantu rekan yang bekerja di kantor notaris, aku mengurus semua proses balik nama sertfikat tanah secara diam-diam --sedangkan untuk BPKB mobil tidak perlu kuurus sebab sudah atas namaku-- Sehingga nanti ketika sidang perceraian berlangsung, harta benda itu bisa jatuh ke tanganku.

Aku tidak butuh gaji mas Rava. Sebab setelah semuanya terungkap nanti, aku tidak yakin maskapai penerbangan masih mau mempekerjakannya sebagai pilot.

Lalu, sesuai saran Jihan, aku harus mengaktifkan kembali bisnis baju Muslimah Yasmina-ku. Rencananya, setelah membongkar perselingkuhan Rava dengan Rana, aku akan membuang huruf A di belakang namaku. Aku sudah tidak sudi bekerja sama lagi dengan perempuan perebut suamiku. Aku harus membesarkan sendiri bisnisku di bidang garmen. Dengan harapan, ketika telah resmi bercerai dari Rava, aku sudah mandiri secara finansial.

Semua rencana sudah kususun rapi dan kulaksanakan satu per satu dengan sangat sempurna.

Tinggal hasilnya, kupasrahkan pada Allah.

*****

Hari ini, tiba acara aqiqahan Emmir digelar.

Semua tamu undangan hadir, termasuk Mama mertua dan Ummiku yang datang menginap sejak kemarin malam. Mama dan Ummi datang bersamaan dari Malang, sebab rumah mereka satu kota. Para Bapak tidak datang. Abahku menderita arthritis sehingga tidak bisa berpergian jauh. Sedangkan Papa mertuaku sudah meninggal dua tahun yang lalu.

Pagi ini rumah sudah kudekorasi dengan sangat meriah. Ada balon-balon yang terpasang di dinding dan sudut-sudut ruangan. Kertas-kertas hias warna-warni yang dipasang sebagai rumbai-rumbai penutup dinding. Dan tulisan besar 'AQIQAH & TASYAKURAN EMMIR' warna emas yang terpasang di tengah dinding ruang tamu.

Jihan datang membawa sekotak kado yang sangat besar. Tante Sofiya juga datang bersama Hasyim. Ummi senang sekali menyambut kedatangan adik kandungnya. Lalu, tamu yang sangat kutunggu-tunggu kedatangannya, siapa lagi kalau bukan Rana?

Dia datang sendirian dengan tangan kosong, tidak membawa hadiah apapun untuk Emmir. Aku juga tidak ingin anakku diberi hadiah oleh Tante binal tidak tahu diri. Tapi, sudah terlihat bedanya bagaimana akhlak Jihan dan Rana.

"Wah, ini dia artis yang ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga." Aku menyambut perempuan itu dengan keramahan palsu. Lebih menjijikkan lagi, aku harus menempelkan pipiku pada pipi kiri kanannya.

"Kak Yasmin bisa aja. Maaf loh, aku baru bisa kesini sekarang. Setiap hari tuh aku selalu sibuk pemotretan. Sampai capek banget rasanya." Dia membalas sambutanku tak kalah munafik.

Tanganku sudah sangat gatal ingin menarik kerudungnya, lalu menjambak rambutnya kuat-kuat. Pelacur berkedok syar'i seperti dia seharusnya diikat di tiang kayu lalu dirajam sampai babak belur!

Terlebih lagi ketika melihat Rava menyambut Rana, emosiku rasanya sudah sangat meluap, hampir tak terbendung.

"Hai, Ran. Baru menampakkan batang hidungmu sekarang? Padahal ponakanmu sudah lahir sebulan yang lalu. Wah, wah, kamu ini bukan calon adik ipar yang baik."

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang