Bab 12. Masa Lalu Yang Terkuak

12.9K 1.7K 344
                                    

Pagi ini, waktu aku, Ummi dan Mama sarapan di ruang makan, Rava berpamitan berangkat kerja.

"Nggak sarapan dulu, Rav? Ini udah dibeliin Yasmin bubur ayam. Tadi ada tukang bubur lewat depan rumah." Mama mertuaku bertanya setelah suamiku mencium punggung tangan kanannya.

"Nggak usah, Ma. Aku buru-buru, ada rapat. Di kantor juga ada sarapan, kok." Dia beralih pada Ummi untuk ganti mencium punggung tangannya. "Berangkat dulu, Umm."

Ummi mengangguk. "Hati-hati di jalan."

Setelah menjawab, "Ya, Umm." Mas Rava beralih padaku untuk mencium puncak kepalaku. "Berangkat dulu ya, Sayang."

Aku membeku dipanggil 'Sayang' oleh laki-laki yang sudah menikahiku hampir sebelas tahun ini. Sudah lama sekali dia tidak memanggilku seperti itu. Mungkin sejak aku hamil Emmir. Biasanya Rava memanggilku 'Mama', sama seperti anak-anak memanggilku.

Aku hampir saja terbawa perasaan, tapi kemudian ingat. Dia bersikap seromantis ini pasti karena sedang ada Ummi dan Mama di sini. Dia ingin menunjukkan pada para ibu bahwa kondisi rumah tangga kami tetap baik-baik saja. Atau, dia sedang meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa kami masih baik-baik saja.

Jika itu keinginannya, maka akan kuturuti. "Iya, Sayang. Hati-hati di jalan. Jangan lupa nanti video call aku kalau udah sampai tujuan."

Mas Rava tersenyum menanggapi ucapan mesra yang sengaja kubuat manja. "InsyaaAllah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Aku dan para Ibu membalas serempak.

Usai kepergian Rava, ada rasa muak menggelayuti hatiku ketika Mama mertuaku membanggakan Mas Rava di hadapan Ummi.

"Rava tuh pekerja keras ya, Umm. Baru kemarin aqiqahan anaknya, sekarang udah harus dinas lagi. Capek lho pastinya."

Ummiku hanya membalas, "Iya."

Kalau biasanya kutanggapi percakapan kedua Ibu ini dengan senang hati agar suasana diantara mereka tidak canggung. Kali ini, kubiarkan saja Mama mertuaku ramai berceloteh sendiri meskipun ditanggapi datar oleh Ummi.

Aku tidak nafsu makan. Kubawa ke dapur bubur yang cuma berhasil masuk perut tiga sendok. Waktu aku akan membangunkan kedua putriku, Hpku berdering. Nama Kanaya tertera di layarnya.

"Assalamu'alaikum, Nay."

"Wa'alaikumsalam, Yas. Gue ada waktu luang hari ini. Ketemuan, yuk," ajak Kanaya.

"Sekarang?"

"Bisa, kalau lo longgar."

Aku melihat jam di dinding ruang makan yang menunjukkan pukul 06.45, masih terlalu pagi. Lagipula, aku belum memandikan anak-anak, belum menunggui mereka sarapan, belum memerah ASI untuk Emmir, dan Bibi juga belum datang. Aku bisa diomeli Mama kalau keluar sekarang dengan mengabaikan anak-anakku.

"Gue belum beres ngapa-ngapain ini. Gimana kalau jam satu aja, Nay? Sekalian makan siang."

"Boleh. Tapi lo yang traktir, ya? Kan lo yang butuh informasi dari gue. Jadi lo harus bayar gue pakai makanan. Oke?"

Aku tersenyum mendengar permintaan itu. "Oke, deh. Ketemuan di mana kita?"

"Di Bakmi GM PIM, udah lama banget gue nggak makan di sana."

"Siap. Nanti ya jam satu. Jangan telat."

"Lo kali yang telat. Rumah lo kan jauh. Ya udah kalau gitu, sampai ketemu nanti. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah menutup telepon, aku bergegas membangunkan anak-anak, menyuruh mereka mandi, menyiapkan sarapan, memerah ASI, lalu ganti memandikan Emmir. Dan sisanya kuhabiskan dengan mendampingi para Ibu mengobrol sambil menunggu jam satu siang tiba.

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang