Bab 6. Jihan Di Pihak Siapa?

10K 1.4K 144
                                    

Sesampainya aku di rumah, Bibi menyodoriku setumpuk undangan aqiqahan Emir yang baru saja dicetak. "Tadi ada orang percetakan datang ngasih ini, Bu."

Aku menerima undangan itu dari tangan Bibi. "Makasih, Bi."

Kemudian, aku berjalan menuju sofa ruang tamu untuk duduk. "Zahira sama Aisyah sudah bangun?" tanyaku sambil memeriksa kartu-kartu undangan satu per satu.

"Sudah. Sekarang mereka lagi sarapan di ruang makan. Tadi nasi gorengnya saya panasi dulu, terus saya bagi dua untuk Zahira dan Aisyah."

Aku tersenyum masam menanggapi pemberitahuan Bibi. Anak-anakku memakan nasi goreng yang ditolak Papa mereka tadi pagi, hanya demi bisa sarapan bersama Tante Binal di cafe kekinian. Sungguh Miris.

"Saya ke belakang dulu, Bu. Mau nyuci baju," pamit Bibi yang kutanggapi dengan anggukan. "Silakan, Bi."

Aku kembali memeriksa kartu-kartu undangan Aqiqahan Emmir, jangan sampai ada ejaan nama atau alamat yang salah. Kalau ada alamat yang salah, kasihan tukang ojeknya nanti waktu mengantar undangan ini ke rumah-rumah.

Acara aqiqahan Emmir akan diselenggarakan lima hari lagi. Aku memesan dua kambing jantan di langganan Rava. Lalu setelah disembelih, dagingnya akan dikirim ke rumah Najwa untuk dimasak sate, gule dan nasi biryani untuk dibagikan ke anak yatim piatu di panti asuhan, dan untuk para tamu undangan. Kami hanya mengundang beberapa kerabat dekat seperti sahabat, keluarga dan tetangga kiri kanan yang semuanya berjumlah tidak lebih dari dua puluh orang.

Gerakan tanganku terhenti pada kartu undangan bernama, Rana Ateefa Bahalwan, sahabat karibku sekaligus perempuan laknat kesayangan suamiku. Aku penasaran. Apa dia mau susah-susah datang ke acara aqiqahan Emmir? Apa dia masih punya muka menghadapiku?

Tapi kemudian, rasa penasaranku segera dijawab oleh analisa logisku. Emmir lahir saja dia belum mau menjenguk sampai sekarang. Apalagi nanti di acara aqiqahan, dia pasti tidak sudi datang.

Ah, tidak.

Aku punya cara jitu untuk memaksanya datang ke acara aqiqahan. Aku yakin dengan cara ini, perempuan penggoda suami orang itu pasti akan datang. Tapi sebelumnya, aku harus menyelesaikan tugas-tugasku dulu sebagai seorang Ibu. Aku tidak mau anak-anakku terbengkalai gara-gara sibuk mengurusi perselingkuhan Rava.

Setelah mengembuskan napas panjang, aku bergegas mengganti pakaianku dengan baju daster rumahan lalu mendampingi Zahira dan Aisyah belajar sambil sarapan pagi ---meskipun tidak nafsu, aku harus tetap makan agar tidak jatuh sakit. Setelah itu, kupompa ASI sampai mendapat satu botol untuk persediaan. Jika sewaktu-waktu Emmir kutinggal pergi, Bibi bisa memberi ASI perah melalui botol. Selesai memompa ASI, aku memasak untuk makan siang kedua putri cantikku.

Semua aktivitas itu berhasil kuselesaikan dalam kurun waktu lima jam. Sekarang sudah pukul dua siang. Sambil menyusui Emmir di kasur, aku membuka instastory Rana untuk mengetahui keberadaannya sekarang. Untungnya dia rajin update hampir setiap kegiatannya, ada juga beberapa postingan endorse. Dalam sehari instastory-nya bisa berbentuk seperti jahitan karena saking banyaknya yang diposting. Justru bagus, aku jadi bisa melacak posisi keberadaannya atau perkembangan hubungannya dengan Rava.

Di story terkini, dia sedang menonton serial Netflix sambil makan pop corn. Di foto itu juga ada dua pasang kaki ramping dibalut piyama. Sepasang kaki milik Rana, dan sepasang lagi kaki yang di-tag milik Jihan. Caption dalam foto itu adalah, chilling with my Bestie.

Oh, dia sedang bersantai di kamar apartemen bersama Jihan. Lalu, ke mana Rava? Apa setelah mereka sarapan bersama tadi, Rava berangkat ke kantor sedangkan Rana kembali ke apartemennya?

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang